Latest Post

Mencoba Membaca “Ruang”

Oleh : Rois

Bagian
1
Hiperbola
Untuk pertama
kali, mari kita katakan bahwa dunia ini ada di dalam sebuah botol yang
digenggam seorang yang biasa dipanggil Bapak. Dunia itu berisi puisi-puisi
karangannya, dan manusia adalah anak-anaknya yang hidup dengan memakan
puisi-puisinya. Ini bukan bercerita tentang sebuah dunia botol, tapi dunia yang
berada dalam botol; dunia luas yang mencakup segala aktifitas kehidupan.
Setiap paginya,
ditengarai dengan puisi yang terbit dari Barat, memasuki setiap tempat tinggal
untuk mempersiapkan kata-kata di atas meja makan. Anak-anak pun sudah biasa
dengan upacara itu, meski kadang ada yang telat, ada yang bosan dan memutuskan
untuk makan di luar rumah saja. Si Bapak kadang jengkel dengan  beberapa anaknya yang tidak patuh, tapi ia
teringat jika ia juga pernah menjadi anak-anak. Dan memahami kalau mereka hanya
anak-anak.
Tata-tertib di
dunia ini bersifat laten dan tidak bisa dipungkiri. Atauran mainnya adalah
siapa yang berhasil menulis puisi yang bagus mirip puisi-puisi Bapak, maka ia
bisa keluar dari dalam botol dan berhak 
menjadi penerus sang Bapak tercinta. Tentu keberhasilan tersebut tidak
luput dari seberapa berhasilnya anak-anak itu mencerna bait demi bait puisi
dari Bapak.
Namun sejarah juga
mencatat, bahwa dunia tersebut juga tidak pernah memiliki bentuk wadah yang
tetap. Pada zaman bebatuan (Homo Erektus), bentuk dari wadah dunia ini lebih
mirip payudara seorang manusia. Tidak diketahui pasti setelah bentuk itu,
menjadi bentuk apa lagi, dan sampai sekarang tau-menau sudah berbentuk botol.
Akan tetapi beberapa isu sejarah mengatakan bahwa awal perubahan bentuk  itu disebabkan oleh seorang anak gadis manis
nan cantik yang muak terhadap kebodohan Bapaknya menulis puisi. Ia menganggap
puisi bapaknya sangat jelek dan terlalu liar. Si gadis  berpikir bahwa dunia saat itu benar-benar
perlu evolusi besar-besaran. Evolusi terhadap diksi Bapaknya yang primitif itu.
Pada masa-masa
yang sulit, si gadis tersebut sanggup bertahan hingga beberapa generasi, ia
sudah menjadi nenek tua. Dalam rentan waktu yang lama, ia sudah menghimpun
berjuta-juta anak-anak yang telah ia culik. Anak-anak itu dibimbing olehnya,
diajari bagaimana evolusi yang harusnya terjadi. Sampai mereka dewasa.
Sejarah hitam
mengatakan bahwa pada masa Gunung Longsor, 10003 tahun setelah manusia ke-dua
hamil. Evolusi tersebut telah sepenuhnya rampung. Dunia sudah tidak ada dalam
wadah payudaranya, entah berubah bentuk menjadi apa, sampai detik ini juga
belum diketahui.
Sebetulnya,
sejarah itu sudah menjadi rahasia umum yang tidak bisa dirahasiakan siapapun di
dalam botol. Desas-desus sejarah kelam itu seperti sudah menyamar menjadi
udara, yang setiap saat bisa masuk ke paru-paru siapa saja. Berhembus ke kuping
setiap anak.
Konon, kata-kata
yang membangun catatan sejarah kelam itu selalu berhamburan dan berpencar ke
seluruh penjuru dunia ini. Mereka pecah menjadi parsial-parsial huruf yang tak
pernah digunakan dalam puisi-puisi Bapak. Ada salah satu anak yang mengaku
pernah melihatnya di gorong-gorong kota. Ada 
anak yang merasa dibuntutinya. Ada yang anak yang pernah katanya
melihatnya jatuh dari atas langit. Ada anak yang mengaku tak sengaja menelannya
ketika makan di luar rumah, lalu Bapak membawanya, dan anak itu tak pernah
kembali.
Sementara ini,
dunia terlihat aman-aman saja…

Kisah Pengkonstruksian Ruang Kelas
Pembentukan
ruang berupa struktursi simbol-simbol atas material yang kemudian menjadi
kesadaran/pengetahuan, secara paradoks juga menemui konsekuensi: menghadirkan
makna-makna yang tak terjamah oleh simbolisasi. Upaya menata ruang sesuai
definisi-definisi umum material tak pernah tuntas. Alih-alih mencapai definisi
konkret, tatanan ruang yang dikehendaki malah menemui kemajemukan,
heterogenitas, tabrakan, dan keterbatasan kempampuan untuk merangkum
makna-makna ruang ke dalam suatu simbol.
Upaya menjadikan
ruang sebagai konstitusi pengetahuan oleh diktator simbol (produsen simbolik)
malah menegaskan kekurangan atas diri mereka sendiri, yang tak mampu memagari
ketakterbatasan makna ruang ke dalam organisasi makna yang mereka buat. Sebagai
contohnya, pengorganisasian simbol

ruang
‘kelas’ di institusi pendidikan. Di dalam kelas, banyak material yang telah
ditandai dan diorganisir seperti istilah “bangku”. Di ruang kelas,
“bangku” memiliki makna yg berbeda dengan kursi stasiun, kursi-kursi
di warung kopi, ataupun kursi dalam makna sebagaimana adanya. Simbol
“bangku” dalam konstruksi ruang kelas menyimpan makna khusus, makna
hasil konstruksi itu sendiri, makna yang membedakannya dari “bangku”
di luar kelas.
Dengan adanya
“bangku”, peserta kelas telah diberi batas-batas interaksi antar
sesama peserta. Batas yang ditegakkan demi mengatur pola interaksi menjadi
“disiplin”, pola interaksi di dalam kelas harus berbeda dengan pola
interaksi di dunia luar yang “arbitrer”. Interaksi peserta sepenuhnya
hanya dan harus dan satu-satunya kepada konstruksi akademis. Guru/dosen sebagai
representasi “pendidikan” juga tak luput dari kontradiksi: telah
terpisah dengan peserta lewat jarak yang tercipta dari tata ruang dalam kelas,
dan membentuk stratifikasi kelas–guru memiliki keilmuan lebih tinggi dari
murid, guru berada di atas murid. Kontradiksi lain dari terciptanya
stratifikasi tersebut ialah “Semua yang masuk ke dalam kelas adalah
peserta kelas?” Fakta ini terlupakan ketika salah satu peserta kelas telah
mendapat legitimasi simbol dari lembaga/ produsen simbol, dan dinisbatkan
menjadi ‘guru’.
Jangan salah
sangka dulu, semua upaya pengorganisasian simbol ruang ‘kelas’ tadi, tak pernah
sanggup mempertahankan hegemoni simbolnya. Konsekuansi-konsekuensi yang sekian
banyak, yang seakan senantiasa bisa dimonitoring, nyatanya selalu hadir dan
mengusik setiap saat. Konsekuensi-konsekuensi itu termanifestasikan lewat
coretan-coretan di bangku, permen karet di bawah bangku, tulisan-tulisan di
bangku, bangku telah menjadi seperti mading! Tempat aspirasi, kesan, dan
kejenakaan peserta bersarang.
Tata ruang
bangku yang sengaja dibentuk untuk membatasi interaksi juga buyar ketika
konsekuensi hadir lewat tata ruang itu sendiri yang menciptakan konsep baris
depan-belakang: saat ujian berlangsung, bangku baris belakang berpotensi untuk
melakukan contek-menyontek—sebuah interaksi yang setara dengan perbincangan
antara kekasih yang saling suka—bangku baris depan juga punya potensi: ketika
konsekuensi bangku belakang hadir dan sudah terbaca “bangku belakang pasti
tukang contek!” si baris depan sigap dirasuki konsekuensi juga “ah, penjaganya
ke belakang, sekarang waktuku beraksi!”.
Belum lagi
ketika seorang pengajar tidak hadir di dalam kelas, seperti yang terjadi pada
masa-masa pelajar SMA atau SMP, tatanan ruang kelas dirusak habis-habisan! Ada
yang main kartu di pojok kelas, ada yang naik ke atas bangku, ada yang bermain
kejar-kejaran, para siswi ngerumpi, bangku-bangku dirubah total fungsinya
menjadi alat musik, papan pelajaran digambari sesuatu yang jauh dari
nilai-nilai edukasi, digambari wajah gurunya sendiri yang bahkan hidungnya tak
sedikitpun mirip (saya termasuk pelakunya). Konsekuensi hadir secara spontan
dan tak sengaja merubah kelas menjadi seperti pasar.
Semua kerancuan
yang terjadi menandakan betapa ‘konsekuensi ruang’ senantiasa hadir dan
membuyarkan struktur simbol yang telah dibuat. Terlepas dari itu resistensi
atau bukan, peristiwa lahirnya manifestasi konsekuensi hadir secara alamiah
sebagai refleks ketakterhinggaan ruang atas upaya penyempitannya, mirip seperti
BIG BANG, meledak karena berat massa itu sendiri yang tak mampu ditampung batas
ruang-waktu. Jika marxisme sebagai senjata (yang harus di) makan tuan. Artinya
‘ruang’ telah dikomoditaskan atas keberpihakan tertentu, yang sebetulnya malah
memproduksi dikotomi simbol.
***
Tak
hanya di kelas, cinta pada pandangan pertama pun bisa terjadi di samping toilet
***
Bagian 2
Aku
yang Ter
timbum Keinginan
Bulan, bintang, dedaunan, sapu, pel, preman,
bajingan, sajadah, dan film porno. Siapa sangka mereka suatu waktu yang akan
menolongmu? Dari hal yang menurutmu paling indah sampai hal yang sering kali
kaulupakan. Semuanya secara gamblang tersimpan dalam memori otak.
Kata para ilmuan, lebih dari seratus juta
syaraf dan satu triliyun sel yang membangun kerangka otak. Semua gerak tubuh,
emosi, nafsu, inisiatif, serta ingatan manusia
diatur oleh benda dengan berat kurang dari 1/5 berat badan itu. Kenyataan itu
membuat seakan hidup manusia sangat tergantung pada otak, dan akan menjadi
ancaman apabila tiba-tiba otakmu rusak, atau kadaluwarsa, atau jamuran, sangat,
sangat berbahaya.
Apa mungkin hidup tanpa otak?
Seperti matahari, sasuatu superbesar yang tak berotak tapi bisa memanipulasi
gerak tatasurya? Ah, jangan bercanda, hidup itu bernafas. Ah jangan bercanda,
aturan dari mana itu? Atau mungkin pengetahuan manusia saja yang hanya sampai
pada kesimpulan bahwa sesuatu bisa dikatakan hidup jika ia bernafas.
Kenyataan lagi-lah yang membawamu
pada kekaburan-kekaburan itu. Tentang batas-batas pengetahuan yang sebenarnya
masih jauh dari batas sesungguhnya. Meskipun akal di dalam otakmu mampu membuat
sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini menjadi mungkin, meskipun kau mampu menguasai
bumi dan sesamamu. Lalu, kau dipertemukan dengan dunia di luar dunia yang kau
kenali dan tak pernah terekam dalam memori otakmu. Bagaimana kau akan
berkata-kata?.
Tisu WC, pembalut, pasar,
lokalisasi, anak sholeh, nuklir, langit, matahari, galaxy, jendral.
Mereka
punya tempat sendiri-sendiri di dalam ranjang ingatanmu, dari yang paling
kompleks sampai sub-, dari yang paling kaukenali sampai terasingkan jauh di
alam bawah sadarmu. Dari yang umum dibicarakan sampai yang harus dirahasiakan.
Sebenarnya kau sendiri telah lupa jika mereka pernah ada di sampingmu,
berdialog denganmu, ngopi denganmu, dan kau malah ingin menambah ingatanmu
lebih banyak lagi tentang sesuatu di luar sana. Apa kauingin melupakan dirimu
sendiri?.
Ada pepatah timur berkata “semakin banyak
kau mengambil, semakin sedikit yang kau punya”. Kepercayaan diri yang meluap
dan menjadikan manusia sombong, merasa mampu dan tak terbatas padahal penuh
celah. Manusia memiliki semacam hasrat yang tak pernah rampung. Seolah
berputar-putar dalam dirinya sendiri. Lalu ditambah lagi beban yang diciptakan
budaya modern lewat kategorisasi spesies superior—homo sapien. Ingatan-ingatan
yang membangun manusia hanya menjadi sepintas pijakan dalam upaya memenuhi
hasrat menguasai segalanya. Padahal ingatan-ingatan itulah yang memberitahu
siapa diri itu, dari mana diri itu hadir.
Sekarang memori itu tersimpan jauh,
jauh sekali, terpendam dalam kuburan waktu—menjadi purba, memori purba mengenai
siapa diri (aku); bukan, bukan sekedar itu, tapi lebih menandakan bahwa
diri-aku ialah kumpulan dari aku-aku di luar sana. Yang mengendap dalam ekstasi
keluapaan dan menyeret diri-aku ke dalam mimpi yang eksistensial—merasa
tunggal.
Ketika
seseorang kesepian, untuk apakah rasa sepi hadir dan menemaninya? Kesepian
meliputi kegelisahan atas ketidakpastian. Manusia mengingat bahwa mereka tak
pernah hidup sendiri, lalu menghadirkan kesepian dalam hatinya. Momentum ‘sepi’
memacu hasrat untuk bersama dengan yang lain. Karena di saat manusia sendiri,
ia tak dapat eksis dan kehadirannya terancam.
Manusia
selalu membutuhkan apresiasi dari orang lain. Dan sekali lagi, ketika ia
mendapat apresiasi itu, ia selalu lupa dari mana apresiasi itu hadir. Ia selalu
merasa segala sesuatu itu terjadi atas usahanya sendiri dan merasa tunggal;
misal, seorang homo sapien yang sukses menjadi Gubernur, banyak kawan
politiknya memberikan pujian, pujian, dan pujian. Banyak lawan politiknya misuh-misuh.
Tidak mungkin setelah berhasil menjadi Gubernur, si homo sapien mengurung diri
dalam kamar lalu merenung tentang kesejahteraan masa depan. Homo sapien butuh
tampil di depan publik. Ia akan merasa kesepian jika di dalam kamar. Bahkan
dari situ, Gubernur homo sapien ini telah merasa sepi sebelum mengalami
kesepian yang faktual. Sesegera mungkin ia akan mempersiapkan jumpa fans
untuk  mengeksploitasi
apresiasi-apresiasi publik agar hasrat ‘kebersamaan’-nya terlunasi. Dan apakah
Gubernur homo sapien ini akan mengakui bahwa semua apresiasi itu berasal dari
publik? Lagi-lagi semua itu hanyalah ingatan-ingatan yang akan terkubur di
dalam alam bawah sadar.
Manusia
merasa bahwa dirinya adalah mahluk sosial, tapi di sisi lain mereka juga ingin
sendiri: meraih prestis atas usahanya sendiri, mengukuhkan keidentikannya
sendiri, mampu menguasai diri sendiri, merasa tunggal di tengah kerumunan dan
menjadi pusat—aku adalah Gubernur homo sapien.
Pada
akhirnya, tiada akhir bagi kepelikan kehidupan yang nyata sekaligus ilusif itu.
Diri-aku juga tak mungkin mennyembunyikan ke-aku-annya karena bawah sadar bukan
semacam coretan kapur yang bisa dihapus. Di dalam diri, aku-aku yang lain akan
selalu terkubur dan sesekali muncul untuk dikubur lagi. Ingatan adalah korban
terakhir dari semua yang telah kita lupakan. Karena ketika satu ingatan muncul,
ia telah mengubur ingatan-ingatan lain yang tak ingin diingat. Aku ialah mereka
yang tak ingin ku-ingat.
Menjadi
sebuah pertanyaan lagi ketika melihat seorang bayi yang belum mengetahui
bahasa; sudahkah ada ingatan yang tersimpan dalam dirinya? Tentu, ada atau
tidaknya ingatan tersebut bukan sesuatu yang bahasa bisa definisikan. Karena
bahasa berada di wilayah kebudayaan manusia. Dalam hal ini sang bayi belum
menjadi manusia, tapi akan menuju proses pemberadaban sebagai manusia. Sang
bayi akan dididik oleh kebudayaaan manusia yang mengepung tanah kelahirannya.
Contoh sederhana namun pasti adalah pemberadaban sang bayi melalui pemberian
nama.
Lambat
laun sang bayi akan membelah dirinya: melalui pengidentifikasian diri. Ia mulai
memproduksi pengetahuan tentang ‘aku’ dan ‘yang-lain’. Dari situlah ia mulai
kehilangan dirinya yang belum terjamah oleh bahasa. Diri-pra-aku akan terkubur
oleh waktu yang sesak dengan ingatan-ingatan manusia—sebuah identitas bentukan
budaya. Dirinya akan disimpan di dalam kamus-kamus pengetahuan: selamat, bayi
telah sah disebut sebagai homo sapien.

Anomi
Mencari
jati diri berarti proses menuju bunuh diri. Persoalan diri adalah persoalan
yang pelik seputar konsep ke”aku”an. Jika harus berkata kasar, maka izinkan
saya menulisnya begini: OMONG KOSONG PENGETAHUAN. Pencarian jati diri
bukanlah wacana baru abad-abad ini, wacana itu sudah ada sejak generasi awal
filsafat memuali debutnya. Jadi sangat pantas sekali jika ada
seseorang/dikursus yang melaksanakan—dengan romantis—wacana itu tanpa ada unsur
pembaharuan, maka sudah sepantasnya itu harus ditinggal dan diabaikan.
Mari
menyepakati lagi bahwa “ruang” bukan hanya yang tampak secara empiris saja.
Dalam tubuh dan diri manusia terdapat pula sesuatu yang disebut “ruang”. Tubuh
manusia seperti sebuah alat yang merekam gestur, respon, dan bentuk-bentuk
gerakan tertentu. Diri manusia ibarat sebuah kertas kosong yang diisi dengan
banyak tulisan-tulisan yang menyimpan pengetahuan tertentu. Mari menyepakati
lagi bahwa “manusia” adalah sebuah perpustakaan, tak lebih tak kurang.
Persoalannya
sekarang “lalu siapa aku?”. Jika manusia adalah perpustakaan, maka secara
frontal definisi ‘Aku’ menjadi buyar. Identitas yang dibangun dengan kesadaran
individual akan mengalami “pementahan”. Proses aktus diri sehari-hari seolah
hanyalah sebuah ilusi. Tidak ada proses identifikasi yang menemukan final.
Bahkan legitimasi-legitimasi identitas hanya akan menjadi bualan formalitas
belaka? Tidak perlu serumit itu, mari menyepakati bahwa tulisan ini juga
sebentuk omong kosong akademistik yang dan tak lebih dari “akrobat kegelisahan”.
Tubuh
manusia merupakan sebuah kamus berisi gerak-gerik yang bersumber dari—paling
dekat—lingkungan. Misal, cara duduk, cara makan, cara berjalan, semua itu bisa
dikatakan sebagai bahasa tubuh kolektif. Bahasa tubuh cenderung “identik”
dengan konteks lingkungan, budaya, geografis masing-masing individu.
Cara
dan posisi duduk seorang petani akan terlihat kontras dengan cara dan posisi
duduk seorang menteri. Tubuh mereka masing-masing menyimpan memori tentang
“anatomi duduk” dari lingkungan tempat mereka hidup. Ruang dalam tubuh mereka
telah terisi oleh “sesuatu” tanpa disadari dan dikehendaki secara sadar.
Sesuatu itu meliputi gerak-gerik keseharian maupun imajinasi yang ditularkan
lewat kenyataan virtual. Tubuh manusia adalah ruang yang terisi pun tanpa batas
yang jelas: cara duduk seorang menteri punya kemungkinan berkembang sesuai
persinggungannya dengan banyak faktor seperti usia, momen traumatik, lingkungan
baru, dan sebagainya.
Serupa
tubuh namun terkesan lebih pelik dan kompleks; diri manusia adalah entitas
“ghaib”. Dikatakan entitas karena dapat ditandai, dan ghaib karena sebetulnya
tak pernah terwujud secara fisik namun dapat dirasakan seolah-olah berdiam
dalam tubuh. Secara umum manusia dikatakan selalu memiliki kesadaran, dan dari
kesadaran itulah dirinya merasa “ada”. Kesadaran tentang keberadaan diri inilah
yang membentuk imajinasi ke”AKU”an yang seolah-olah membuat diri rampung
teridentifikasi dan punya sebentuk identitas stabil.
Sederhanya,
setiap individu tahu bahwa dalam dirinya terdapat ruang untuk terisi
pengetahuan, namun masih bersikeras menganggap bahwa dirinya punya power kehendak atas apa apa yang dapat
masuk ke dalam dirinya. Setiap individu menganggap bahwa dirinya bisa menyaring
pengetahuan. Itulah sebab utama yang selalu mengukuhkan kesadaran “aku” dalam
diri manusia.
Manusia
adalah subjek rasional; jika demikian, muncul pertanyaan yang harus segera
dijawab: apakah sejak bayi setiap manusia sudah tahu identitasnya
masing-masing? Apakah bahasa sudah tersedia dalam perut setiap ibu di dunia?
Yang terjadi tidak lain tidak bukan adalah bahwa manusia, dengan kemampuan
menirunya, mencerna apa saja yang masuk tanpa terkecuali, dan yang menjadi
batas/penyaring adalah lingkungan itu sendiri: keluarga, budaya, negara
mungkin. Manusia senantiasa dibentuk oleh sesuatu di luar dirinya, seorang bayi
lahir tanpa kesadaran apa-apa, tanpa identitas apa apa, dan tanpa kepentingan
apa apa. Dan mungkin definisi itu sejalan dengan pernyataan klise “bayi ialah
mahluk suci”, atau “bayi tak punya dosa”. Yang terjadi ketika bayi menangis
adalah proses alamiah tentang rasa “nyaman” sebuah sistem pertahanan tubuh.
Diri
manusia adalah sebuah ruang yang terisi oleh berbagai macam pengetahuan,
kesadaran, trauma, dan bahasa bahasa yang berasal dari luar ruang diri. Di
dalam diri tersebut—kalau disadari sekilas—sebetulnya banyak aku-aku yang
bersemayam: mungkinkah seorang manusia memiliki saru identitas saja? Satu
contoh, seorang manusia memerankan banyak tokoh dalam dirinya, jika di rumah
berperan sebagai bapak, anak, pembantu, atau ibu. Jika di kantor sebagai
pegawai, jika di sekolah sebagai murid, guru, tukang sapu. Jika di tempat asing
sebagai pendatang.
Aku
adalah “ruang”. Di dalam aku ada banyak aku aku yang lain, yang juga merupakan
diriku. Lantas siapakah diriku? Ada baiknya berhenti bertanya jika masih
menganggap “AKU” adalah diri sendiri.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Login