Latest Post

Larung Laut Tak Pernah Sia-sia

Cerpen Haikal F

Kau mengingat kemeriahan dan semangat masyarakat saat prosesi Larung Laut digelar di pesisir. Jukung kecil berisi aneka sesaji diarak banyak orang ke pesisir seusai didoakan untuk dilarungkan. Setelah larung, orang-orang akan mengejar jukung berjubel sesaji itu untuk direbut, ombak riuh memeriahkan. Semula kauheran, selamatan pada laut yang digelar hampir di seluruh pesisir kidul Jember itu seolah tidak bekerja. Apa yang nelayan-nelayan upayakan seolah sia-sia.

Bagi nelayan sepertimu, laut tak sekadar perairan tempat biota-biota tinggal. Tak pula sekadar tempat nelayan menjemput nafkah untuk dibawa ke daratan. Laut juga semacam tempat tinggal bagi makhluk-makhluk gaib—yang dalam keyakinan masyarakat Jawa secara umum—hidup berdampingan dengan manusia. pada masa awal leluhurmu, Larung Laut digunakan untuk persembahan kepada makhluk-makhluk gaib laut supaya berkenan bersahabat dan tidak mencelakakan nelayan yang mencari nafkah. Selain itu, nelayan juga berharap kepada Tuhan agar rezeki tangkapan senantiasa berlimpah.

Pada generasi selanjutnya saat Islam makin dianut oleh masyarakat pesisir, tradisi Larung Laut seperti yang rutin kaulakukan diniatkan untuk syukuran dan selamatan kepada Allah atas rezeki yang telah diberikan dan mengharap pada tahun-tahun selanjutnya rezeki melaut akan tetap riuh bak ombak yang silih berganti menggapai pantai. Baru pada niat kedua, Larung Laut diperuntukkan pada makhluk-makhluk gaib laut. Tentu saja keyakinan pada makhluk-makhluk gaib tidak dapat dilepaskan dalam pikiran bawah sadar nelayan sepertimu, apalagi di wilayah pantai selatan yang terkenal angker. Bahkan nelayan lebih takut jukungnya celaka daripada khawatir ikan-ikan yang terjerat pada jaring sedikit.

Kali ini, semula kauheran, selamatan pada laut yang digelar hampir di seluruh pesisir kidul Jember itu seolah tidak bekerja. Apa yang nelayan-nelayan upayakan seolah sia-sia.

***

Istrimu tengah hamil. Gurat wajahmu saban hari tergambar risau lantaran hasilmu melaut bersama teman-temanmu tidak memuaskan. Cuaca ekstrem tidak akan bisa selalu disalahkan, ada penyebab lain yang membuat makin hari risaumu tampak menetap di ceruk matamu. Pantaslah hasil tangkapanmu berkurang, ikan-ikan tidak akan betah tinggal di laut dangkal Kepanjen ini yang kotor akibat limbah yang dibuang ke laut. Ekosistem terganggu dan

memaksamu untuk berlayar menantang ceruk lebih dalam untuk menghasilkan tangkapan memuaskan. Kau tampak tidak dapat memenuhi kebutuhan istrimu kira-kira sejak dia hamil muda. Utang demi utang tak terelakkan.

Ada yang bertambah renyuk dalam dadamu saat kau mendengar kabar dari Bahar, temanmu mengakrabi laut sejak kecil, tentang rencana pembukaan lahan di pesisir pantai oleh PT Gumukmas Makmur. Sebuah papan imbauan terpasang untuk tidak beraktivitas di wilayah Hak Guna Usaha perusahaan tersebut.

“Akan berapa banyak lagi limbah? Mereka mau menambah tambak sedang tangkapan kita sudah berkurang. Laut tidak lagi menyayangi kita, padahal setiap Syuro kita rutin mengadakan Larung Laut,” rikuh kau menanggapi kabar temanmu itu di lincak teras rumahnya.

“Adakah di antara kalian yang pernah tersengat ubur-ubur? Rasa nyeri dan panas yang dihasilkan oleh hewan itu sama rasanya dengan kenyataan yang tengah kita hadapi ini. Hati kita nyeri, tapi semangat kita juga harus terbakar! Selasa rencana pendatangan alat-alat berat. Aku punya ide untuk melawannya dengan menanam mangrove seperti yang sering kita lakukan supaya ekosistem laut pulih dan hasil kita banyak seperti dulu.” Ada enam orang nelayan yang mengangguk di teras itu. kesiur angin membawa aroma laut singgah sebentar.

***

Sekiranya sudah lebih dari 30 meter bakal batang mangrove telah banyak tertancap di sempadan pantai ketika beberapa orang dengan tampilan pekerja proyek dan setelan preman menghampiri.

“Kalian lagi ngapain di wilayah ini?! Ini wilayah HGU perusahaan, kalian tahu?! Setiap orang yang tanpa izin beraktivitas di wilayah ini bisa kami laporkan ke kepolisian, kalian tahu?!” seorang berpenampilan necis itu menyolot, suaranya bertarung dengan deru ombak.

“Sejak kecil, tak ada wilayah yang kami kenal selain pantai dan laut. Tempat yang telah membesarkan kami para nelayan dan keluarga. Kami sedang berbalas budi merawat wilayah yang telah menghidupi kami. Mengapa kami mau dilaporkan ke polisi?” Bahar yang menjawab. Dalam persoalan dengan laut, tampak ia yang tercerdas. Laut sebagaimana arti namanya seolah memiliki kedekatan paling intim.

Seorang necis itu menginstruksikan empat orang setelan preman mengusirmu dan teman-temanmu.

“Jauh-jauh dari wilayah ini atau akan saya laporkan kalian ke polisi!” itu kalimat yang kaudengar saat kau dan teman-temanmu tak mampu melawan orang-orang berbadan kekar yang menggiringmu menjauh.

Seminggu kemudian, atas gubahan semangat dari Bahar, kau dengan teman-temanmu pergi untuk melanjutkan menanam mangrove. Seorang necis itu kembali melihatmu tak jauh dari alat-alat berat bekerja, membuatnya naik pitam.

Preman-preman itu lagi-lagi mengusirmu dan teman-temanmu. Walaupun perlawananmu dan teman-temanmu lebih sengit, akhirnya tak berarti apa-apa selain semakin menyulut seorang necis itu untuk melaporkannya ke polisi.

Gelap baru menelan senja dan sayup suara pelepah nyiur tanggal mencium pasir pantai terdengar dari kejauhan. Kau yang kecapaian pamit pulang lebih dulu dari teras rumah Bahar untuk menemani istrimu yang bunting saat polisi datang untuk memanggilmu dan yang lain ke kantor karena tuduhan menduduki tanpa izin lahan perusahaan.

Kau tak bisa menolak. Kau makin yakin selamatan pada laut yang digelar hampir di seluruh pesisir kidul Jember itu tidak lagi bekerja. Apa yang nelayan-nelayan upayakan sia-sia. Ombak di dadamu demikian keras menghantam. Hatimu kian karam.

***

Gerombolan mahasiswa bersama sebagian nelayan lain yang mendengar kabarmu dikriminalisasi dengan laporan pidana dan perdata melakukan aksi. Tuntutan balik juga dilayangkan menggandeng LBH kecil yang tersedia di sekitar wilayah Gumukmas. Itu membuat kepercayaanmu pada Larung Laut memulih dan Bahar kembali mencoba meletupkan semangatmu dan yang lain. “Kita yakin, alam berpihak pada kita!” serunya dengan geraham mengeras.

Selama beberapa pekan setelahnya, jagat pemberitaan regional dipenuhi dengan berita tentangmu dan teman-temanmu yang dipanggil polisi, memantik organisasi-organisasi mahasiswa bersama masyarakat turun jalan. Kelak kautahu, isi tuntutan balik yang dilayangkan mahasiswa dan LBH untuk membebaskanmu adalah perda nomor 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jember 2012-2035 yang menyebut bahwa wilayah pesisir Jember masuk dalam Kawasan Perlindungan Setempat dan Kawasan Rawan Bencana Tsunami. Selain itu, mereka juga merujuk pada UU nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Intinya, yang kau mengerti dari diskusi dengan

mahasiswa ialah bahwa dalam jarak 100 meter dari pantai tidak boleh berdiri bangunan, termasuk tambang.

Di meja pengadilan kaubisa melihat seorang necis itu beberapa kali mendengus seolah tidak sabar menunggu pengacaranya mematahkan pendapat dari LBH dan mahasiswa yang berapi-api. Beberapa hari sebelumnya, adikmu dan suaminya pergi menjengukmu. Pada akhir pembicaraan, kau yang sibuk mengurus kasusmu memintanya membantu mengurus istrinya yang hamil besar supaya mau menjaga asupan.

***

Sebelum pihak nelayan yang disokong mahasiswa dan LBH berangkat mengajukan banding perdata, pihak perusahaan menawarkan klausul perdamaian antara kedua belah pihak yang—kaudengar terpaksa—disetujui kubu LBH, mahasiswa, dan Bahar.

Malam itu ada yang berubah 180 derajat seperti peralihan siang ke malam yang sering kausaksikan di ufuk laut. Kuasa hukum dari LBH membujuk tak henti Bahar untuk menandatangani klausul, setidaknya itulah keterangan Bahar yang kaudengar pada kemudian hari. Bahar selaku perwakilan dari pihak nelayan akhirnya memang menandatangani klausul perdamaian itu, disaksikan oleh perwakilan mahasiswa yang baru saja tiba. Kau juga bingung, mengapa orang yang paling menolak dan paling berjuang ialah orang yang akhirnya menandatangani klausul perdamaian.

Esok harinya, Bahar terlihat marah di teras rumahnya saat para nelayan berkunjung. “Pengkhianat mahasiswa itu! mereka paksa aku menandatangani surat perdamaian walaupun dalam salah satu isinya kita, nelayan, tidak boleh mencampuri urusan perusahaan tambak itu. Kan asu!”

Kau dan sejawat nelayan lain syok, menghujani Bahar dengan pertanyaan bercampur amarah. Hanya kau yang diam. Diam untuk mengoreksi lagi kepercayaanmu pada Larung Laut dan kerisauan pada istrimu yang akan melahirkan.

“Mereka tidak berjuang sampai tuntas. Semalam, tekanan yang datang padaku untuk menandatangani klausul itu sangat besar. Membuatku tak berdaya,” ujarnya mengiba. Ia tidak menyebut tekanan itu dari pihak mana saja.

***

Beginilah kau sekarang, hanya diam di selasar sendirian dengan tatapan kosong. Tiap hari adikmu yang mengantar makanan ke rumahmu. Tak ada Bahar yang biasa mengakrabimu. Ia telah menjadi sosok yang paling kaubenci setelah kautahu kenyataan sebenarnya.

Tim hukum dari LBH bajingan itu telah menerima sogokan dari perusahaan sebelum berangkat menuntut balik. Nominal yang telalu besar untuk ditolak. Adapun yang paling menyakitkan bagimu ialah Bahar yang juga menerima sogokan itu untuk mau menandatangani klausul. Harusnya mahasiswa yang baru tiba itu tidak boleh mau menjadi saksi, tetapi mereka tidak menahu kalau sebelumnya telah terjadi transaksi bawah meja.

Sekarang kau tak lagi melaut. Jukung telah dijual untuk keperluan persalinan istrimu yang gagal. Gagal lantaran ketakcukupan asupan nutrisi selama hamil. Bahkan pada hari bersalin senja itu, sejak pagi istrimu tidak memasukkan apapun ke mulutnya.

Nahas beruntun. Istrimu dan janinnya telah menjadi pusara yang ditanam di halaman rumah. Setiap hari, seperti sekarang, kerjaanmu hanya menatap kosong ke arah halaman.

Semula kauheran, selamatan pada laut yang digelar hampir di seluruh pesisir kidul Jember itu seolah tidak bekerja. Apa yang nelayan-nelayan upayakan seolah sia-sia. Tetapi nyatanya tidak. Hal yang menyebabkanmu tidak bisa lagi mencari nafkah bukan ulah makhluk gaib laut, bukan ulah ombak ganas, atau angin yang menggila. Melainkan karena ulah perusahaan tambak yang tidak masuk dalam jangkauan niatan selamatan Larung Laut. Akhirnya kau memutuskan untuk tetap percaya pada tradisi itu.

*Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 21 FIB Univ Jember.

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Login