Oleh Julian Virdausi
Aku mengangkat pedangku yang agak berat. Berdiri di atas mimbar dan ditonton oleh ratusan warga. Tertunduk di depanku, diikat dengan erat, seorang pria pedagang keliling yang difitnah dan menjadi kambing hitam dari perbuatan bejat seorang bangsawan. Aku sebagai seorang ksatria. Seorang pelindung rakyat, ditugaskan untuk menghukumnya. Mengeksekusi pria tak berdaya ini. Menjadi tontonan keji bagi masyarakat yang sedang mencari hiburan.
Waktu terhenti, Keramaian seketika menjadi hening sunyi. Panas terik matahari berubah menjadi begitu dingin. Rona kuning berubah menjadi biru gelap. Aku tiba-tiba berada di barisan para warga yang menyaksikan mimbar itu. Melihat sosok diriku yang mengangkat pedang dan bersiap untuk memotong kepala pria paruh–baya itu. Pemandangan ini membuat kakiku gemetar.
Aku bergerak mendekati diriku yang lain. Kulihat, dia sama sekali bukan diriku. Sebuah monster yang mengerikan. Monster yang melakukan kejahatan karena perintah. Tidak!. Ternyata monster itu adalah diriku. Tidak lain dan tidak salah lagi. Maka dari itu, aku akan tetap menjadi monster itu, karena itu adalah hal yang mudah bagiku.
“Mau sampai kapan kamu mengorbankan moralmu!, Kamu manusia!, Bukan monster!” suara itu terdengar menggema memecah keheningan. Tamparan keras yang menggetarkan jiwaku. Dan aku pun, Jatuh tenggelam lebih dalam lagi ke dalam pikiranku.
***
Sungguh ironis. Sebenarnya ini bukan hal yang aku harapkan. Aku berasal dari keluarga ksatria. Dari kecil, aku dididik untuk selalu mematuhi perintah yang diberikan. Berkatnya, aku bisa berada di posisi yang cukup tinggi dalam tentara Kerajaan. Namun, pencapaian semacam ini kerap kali membuatku merasa ‘Kosong’. Hal ini membuatku bertanya, apakah yang kulakukan sudah benar.
Posisiku sebagai Tentara Kerajaan, bukan sepenuhnya hasil perjuanganku, ada sedikit campur tangan kerabatku meskipun aku tidak memintanya. Karena itu, aku hanya bisa tunduk diam dan mengikuti semua perintah yang diberikan.
Meskipun begitu, setiap kali ketidakadilan dan tindak sewenang-wenang yang kulihat di depan mataku, membuat dadaku terasa sesak. Rasa sakit itu, jauh lebih perih daripada sayatan pedang manapun. Saat itu terjadi, aku benar-benar merasa tidak berdaya. Semakin lama aku berada di posisi ini. Rasanya, semakin dalam aku jatuh ke dalam neraka.
Aku menangis. Air mataku tak terbendung dan jatuh dengan sendirinya. Aku takut. Takut menghadapi tanggung jawab. Takut melawan kejahatan. Takut akan kekuasaan. Takut mati. Tapi aku percaya, kebenaran sejati tidak akan pernah mati.
***
Aku tersadar. Membuka mataku dan waktu kembali bergerak. Aku menebaskan pedangku pada tali yang mengikat pria di depanku ini. Pria itu kebingungan, begitu pula orang-orang. Aku menghadap ke massa yang sedang terheran-heran dan mulai memberanikan diri untuk membuka suara.
“Sodara-sodara! Ketahuilah bahwa pria ini hanyalah kambing hitam. Hasil rekayasa dari bangsawan-bangsawan untuk menutupi kejahatan mereka!. Saya selama ini hanya diam saja menyaksikan kelakuan para penguasa yang semakin sewenang-wenang. Tapi kali ini saya harus melawan!. Saya tidak ingin ada lagi orang tak bersalah yang mendapat hukuman yang tidak semestinya ia dapatkan.”
“Hentikan pembelot itu!” Seru seorang bangsawan yang berada di tempat itu. Prajurit dan Ksatria yang berada di sana awalnya tampak ragu-ragu untuk menghentikanku. Situasi berbalik ketika bangsawan berkata “Ini perintah!. Demi melindungi negeri ini, pembelot sepertinya harus ditumpas”.
Para prajurit dan Ksatria mengepungku dengan cepat. Membuatku tidak bisa kabur dan mereka mulai menghujamkan senjata-senjata mereka ke arah tubuhku. Beberapa dapat kutangkis dengan pedang namun sisanya berhasil melukaiku.
Sakit. Perih. Darah kurasakan mengucur deras keluar dari tubuhku. Kakiku mulai kehilangan tenaga dan aku tersungkur. Hujaman senjata terus kurasakan dan aku tidak bisa lagi melawan. Kepalaku rasanya mau meledak karena tidak tahan lagi untuk merasakan rasa sakit. pandanganku mulai kabur dan dengan sisa
beberapa detik hidupku. Aku melihat api-api perjuangan yang berkobar dahsyat di mata setiap warga.
“Te…rus…kan… Per..ju…a….ngan!”.
*Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 22 FIB Univ Jember