Aku terisak tanpa suara disudut kamar. Suara gemuruh petir diluar
sana sangat menggelegar, saling bersahutan. Tak lupa juga hawa dingin yang
membelai kulit hingga perlahan-lahan menusuk ke dalam tulang-tulangku.
“Maksud kamu apa sih? Aku gak paham
sama apa yang kamu omongin!” suara bariton itu terdengar jelas dipendengaranku.
“Siapa wanita yang semalam tidur
denganmu di hotel dekat persimpangan jalan besar itu?” seorang wanita menyahut
tak kalah ketus.
“Aku tidak tidur dengan wanita
manapun semalam!” lawan bicaranya menyangkal dengan nada tinggi, mencoba
membela diri.
“Jangan pernah mengelak! Aku punya
semua buktinya!” wanita itu bersikukuh dengan opininya.
“Bukti apa yang kamu punya? Bukti
apa yang menunjukkan kalau semalam aku tidur dengan wanita lain? Kamu punya
bukti apa hah?” pria itu menimpali dengan nada yang lebih tinggi lagi.
Dua tanganku menutup telinga. Suara
gemuruh itu semakin kuat, semakin lantang, semakin sering bersahutan. Aku
beranjak ke ranjang, meraih selimut dan membenamkan kepalaku dibalik bantal,
berusaha meredam suara petir diluar.
Prangg!
Suara lain mulai bermunculan,
sepertinya vas bunga kesukaanku baru saja tersenggol angin kencang. “Hanya
karena sebuah kertas kamu menuduhku berselingkuh?!” pria itu menepis semua
bukti-bukti yang ada.
“Walau cuma sebuah kertas, tapi di sana
tercantum nama kamu dan seorang wanita bernama Laras. Aku juga punya fotomu dan
foto wanita itu check out dari hotel.” gertak wanita itu lagi.
“Sudahlah, terserah apa katamu!
Semakin pusing kepalaku mendengar ucapanmu!” sang pria menghardik wanita itu.
Terdengar dari suara langkah
kakinya, pria itu sepertinya melangkah keluar meninggalkan rumah. Mesin mobil
mulai bersuara di garasi rumah yang perlahan pergi menjauh dari jangkauan
telingaku. Aku memberanikan diri untuk turun dari ranjang dan beranjak kearah
balkon kamar, memastikan bahwa Papa benar-benar sudah meninggalkan rumah.
Setelah itu aku melangkah keluar kamar lalu menuruni satu persatu anak tangga
menuju lantai satu rumahku. Kulihat Bunda duduk bersimpuh di lantai, menutup
wajah penuh air mata dengan kedua tangannya. Aku mendekat, melewati vas bunga
kesayanganku yang kini sudah tak berbentuk tersebar dilantai pualam di dekat
meja ruang keluarga. Malang sekali nasibnya, sama sepertiku.
“Bunda?” panggilku. Gemuruh petir
itu telah pergi digantikan hujan rintik-rintik yang mulai turun sedikit demi
sedikit. Aku memeluk tubuh rapuh Bunda. Tangisnya semakin pecah, rintik kecil
itu kini menjelma menjadi hujan deras. Satu persatu turun, beberapa rintiknya
masuk ke sela-sela serat pakaianku, sedang beberapa lainnya menyentuh kulit,
lalu perlahan turun, seolah tak betah lama-lama berlabuh disana.
“Bunda istirahat dulu, ya. Biar Kila
yang beresin ini semua.” ucapku, berniat membantu Bunda berdiri dari duduknya.
“Nggak usah, sayang. Biar Bunda aja
yang beresin, Kila balik ke kamar lagi gih, terus tidur siang.” tolak Bunda.
Aku paham, kondisi Bunda sedang
tidak baik-baik saja sekarang. Aku bukan anak kecil lagi. Usiaku sudah 18
tahun, aku sudah lebih dari cukup untuk memahami situasi seperti apa yang
sedang Bunda hadapi. “Bunda dengerin Kila, ya. Bunda istirahat aja dulu, diisi
dulu energinya, terus nanti masakin makanan kesukaan Kila!” jawabku dengan
antusias. Mengalihkan perhatian Bunda agar dia mau beristirahat di kamarnya
sekarang.
Bunda mengangguk. Aku membopong
tubuh lemah Bunda, menuntunnya menuju kamar. Aku merebahkan tubuh Bunda
perlahan, lalu menarik selimut sampai atas dadanya kemudian mengecup kening
Bunda sekilas. “Jangan dipikirin ya Bun, nanti Kila coba cari tahu tentang
Papa. Bunda istirahat yang cukup dulu…” ujarku sebelum benar-benar pergi
meninggalkan kamar Bunda.
Kini aku menatap bunga lily putih
yang berceceran bercampur dengan serpihan-serpihan vas bunga di lantai. Kupunguti
satu persatu serpihan itu lalu aku pindahkan kedalam tempat sampah, sesekali
tanganku tergores oleh serpihan itu. Tak apa, hanya luka kecil saja tidak
seberapa dengan luka yang diterima Bunda dari Papa. Kali ini Papa sudah
keterlaluan. Setelah kejadian ini aku harus mengambil tindakan tegas terhadap
Papa. Aku tidak boleh berdiam diri saja di kamar sembari menangis menunggu
Bunda dan Papa selesai bertengkar.
Menilik dua bulan terakhir Papa
sering sekali pulang larut malam atau bahkan tidak pulang ke rumah selama
berhari-hari. Jika aku atau Bunda bertanya, pasti Papa menjawab dengan alasan
lembur atau meeting dengan klien di luar kota. Awalnya aku dan Bunda fine-fine saja,
tapi semakin hari Papa semakin jarang pulang ke rumah. Papa juga semakin
tempramen kepadaku dan Bunda tentang segala hal, seperti mencari alasan untuk
meninggalkan rumah setiap waktu lewat perdebatan-perdebatan yang ada.
Tadi pagi-pagi sekali, Bunda pergi
mengendarai mobilnya. Melacak keberadaan Papa melalui gps yang Bunda aktifkan
di handphone Papa. Hotel dekat persimpangan jalan besar menjadi tempat
operasi pertama Bunda. Tepat saat Bunda tiba, Papa keluar bersama satu wanita
dari dalam hotel, tanpa pikir panjang Bunda mengambil beberapa foto Papa
sebagai bukti. Setelah keadaan terlihat kondusif Bunda keluar dari mobil lalu
menghampiri resepsionis hotel, memaksanya memberitahu Bunda siapa wanita yang
bermalam dengan Papa.
Tidak mudah membujuk resepsionis
itu. Lima belas menit kemudian Bunda berhasil membujuknya. Yang Bunda dapat
dari resepsionis hotel hanya nama wanita yang besama Papa tadi, Laras namanya.
Akhirnya Bunda pulang ke rumah dan bertemu dengan Papa di ruang keluarga.
Selanjutnya kejadian itu terjadi.
Ting!
Ponselku yang berada dikamar
berdenting, aku beranjak pergi mengambilnya. Pesan dari Papa rupanya. Aku
membacanya, Papa bilang dia tidak akan pulang selama beberapa hari. Lagi lagi
alasannya karena meeting dengan klien di luar kota. Tanganku lihai menari
diatas layar ponselku, mengetik beberapa huruf disana. Ku jawab singkat, tidak
lebih dari dua kata.
‘Iya, pa.’ jawabku.
Setelah itu aku berjalan ke arah
kamar Bunda, membuka pintunya pelan-pelan, memastikan Bunda istirahat dengan
nyaman. “Bunda tenang aja ya, Kila bakalan cari tahu tentang wanita itu. Kila
nggak bakalan biarin keluarga kita berantakan, Bun.” ucapku. Kututup lagi
rapat-rapat kamar Bunda. Beranjak pergi ke dapur untuk melihat buah-buah segar
apa yang ada didalam kulkas. Aku berdiri didepan pintu kulkas dan membukanya.
Ada beberapa buah mangga, pir, anggur dan melon.
Aku hanya mengeluarkan 3 buah
mangga, beberapa anggur dan sebuah pir lalu meletakkan buah-buahan itu di meja
makan. Kakiku melangkah masuk ke dapur untuk mengambil pisau dan beberapa
toples kecil sebagai tempat buah yang sudah dipotong. Selanjutnya aku kembali
lagi ke meja makan.
Setelah memotong, mencuci, dan
memasukkan semua buah-buahan itu kedalam wadah, aku duduk sejenak di ruang
makan. Aku butuh ketenangan sekarang. Ku ambil salah satu wadah berisi buah
mangga dan anggur sebagai cemilan, sisanya ku taruh kembali ke dalam kulkas
untuk Bunda.
Aku berlari-lari kecil ke lantai atas menuju kamarku. Mempersiapkan
keperluan dan memasukkannya kedalam ransel biru kecil nan cantik milikku.
Sweater serta motor kebanggaanku akan menemaniku sore ini. Bukit. Tujuanku
kesana sekarang, jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Sebelum pergi, kutulis
sebuah notes untuk Bunda yang biasa aku tempelkan dipintu kulkas jika aku ingin
berpergian.
‘Bun, Kila
keluar sebentar ya! Bunda jangan kemana-mana dulu kalau Kila belum pulang! Awas
aja sampai keluar rumah! Tadi Kila udah potongin beberapa buah dikulkas, Bunda
makan ya! Bye, Bunda! Kila sayang Bunda!’
-Kila
Aku mengunci pintu rumah dari luar dan memasukkannya ke dalam ransel
biru yang tersampir di bahuku. Di garasi, motorku sudah tidak sabar menunggu
pemiliknya datang. Jalanan sore ini tidak terlalu macet juga tidak terlalu
lenggang. Hembusan angin menerpa wajahku, perjalanan ke bukit biasanya aku
tempuh dengan waktu lima belas menit saja dari rumah.
Bukit, tidak banyak orang yang tahu tempat ini. Tempatnya masih asri
dan sangat terawat. Aku memarkirkan motorku, memastikannya tetap dalam
pengawasanku. Lalu aku beranjak naik ke atas, jalanan menanjak tak begitu
menjadi masalah bagiku. Merasa sudah pada tempat yang tepat, aku duduk di atas
rerumputan. Ku ambil earphone dari dalam tasku dan menghubungkannya dengan
handphoneku. Ku putar sebuah lagu yang akhir-akhir ini sering kudengarkan saat
sendirian di kamar.
Berteriak di
atas tenggorokan
Hujan serapah
dan makian
Hancur lebih
mudah dari bertahan
Kupelajari
sedari kecil
Alunan lagu berjudul ‘Taruh’ milik Nadin Amizah itu mengalir
lembut ke gendang telingaku, menyampaikan setiap pesan tersirat yang terdapat
disetiap bait-baitnya. Mataku beralih lurus menatap depan.
Memandang seluruh kota dari atas sini selalu menjadi aktivitas
favoritku. Sejauh mata memandang, bangunan-bangunan kokoh terpampang jelas di
depanku. Apalagi sekarang matahari akan pulang ke tempat peraduannya. Perpaduan
yang sangat sempurna.
Pandanganku kini tertuju pada sepasang ayah dan anak yang sedang
bercanda gurau ditempat yang tak jauh dari tempatku duduk. Keduanya saling
melempar tawa, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Yang pasti itu sangatlah
seru dibandingkan dengan diriku yang duduk termangu disini seperti orang
kehilangan arah hidupnya.
‘Papa sedang
apa dan dimana ya, sekarang?’ pertanyaan itu
tiba-tiba timbul di kepalaku. ‘Papa sadar
tidak dengan apa yang Papa perbuat? Itu menyakiti hati Bunda dan aku,
seandainya Papa tidak bermain dibelakang Bunda, mungkin sekarang kita sedang
sibuk berbincang di ruang keluarga membahas apa yang kita lakukan selama
seharian, melempar candaan dan lelucon konyol milik Papa, atau sekedar minum
teh hangat dan cookies buatan Bunda’
‘Pa… Apa Papa
tidak merindukan keluarga kecil kita yang dulu? Apa Papa tidak merindukan
obrolan hangat kita? Apa Papa tidak merindukan liburan ke pantai setiap satu
bulan sekali? Aku rindu Papa, tapi yang dulu.’ ingatan tentang Papa kembali
memenuhi isi kepalaku.
Air mataku kembali jatuh. Suara bentakan dan sahutan antara Bunda
dengan Papa terekam jelas ditelingaku. Terputar berulang kali seperti kaset
rusak.
Papa yang sedari dulu selalu aku hormati setelah Bunda ternyata
menjadi luka pertamaku. Luka yang membekas dan jejaknya mungkin tidak pernah
bisa terhapus hingga aku dewasa nanti. Sedangkan dibalik itu semua ada Bunda,
wanita yang tegar dan sabar menghadapi perilaku Papa selama dua bulan
belakangan ini.
Kecil, wajahmu
meraut sedih
Siapa yang
berlayar pergi
Melatihmu
sendiri
Menertawakan
sunyi
Sampai hatimu
lupa
Terbiasa perih
Handphoneku memutarkan lagu lain tapi masih dengan penyanyi yang
sama. Liriknya menyentuh sudut terdalam hatiku, menusuk dan terasa sesak. Akan
ku tarik lagi ucapanku tadi siang, Papa sudah menghancurkan keluarganya
sendiri. Aku tidak akan mencegahnya. Kalau akan hancur, biarlah hancur. Jika
bisa biarkan hingga menjadi abu.
Aku seperti sebuah tulang, yang jika sudah patah tidak akan
sepenuhnya sembuh dan tumbuh dengan sempurna seperti sediakala. Pasti akan
meninggalkan titik rapuh di sebagian tempat. Pasti akan rentan untuk patah
kembali.
Aku memenjamkan mata sejenak. Bun, amalan apa yang Bunda perbuat
sebelumnya hingga Allah memberi Bunda hati sekuat itu?
Hari semakin sore, aku harus pulang. Motorku kembali membelah jalanan
kota. Mataku sekilas melihat sesuatu yang tidak asing dimemoriku. Itu mobil
Papa! Aku yakin sekali itu mobil Papa! Aku hapal betul plat nomornya. Dengan
terus berhati-hati aku membuntuti mobil Papa dari jauh. Sudah seperti detektif
saja aku ini. Eh… Mobil Papa berbelok ke arah rumah makan yang ramai
pengunjungnya. Warung ayam geprek.
Tanpa berpikir dua kali aku masuk kesana setelah Papa dan wanita itu
masuk. “Mesra sekali mereka berdua sampai suap-suapan begitu.” gumamku sebal.
Aku yang tersulut emosi langsung menghampiri keduanya. “Oh… Gini
cara main Papa ya? Klien apa kok sampe makan suap-suapan gitu?” aku berteriak
lantang dihadapan Papa.
Papa terkejut mengetahui aku ada disana termasuk seluruh pengunjung
rumah makan yang mendengar suara teriakanku. “Ini nggak seperti yang kamu lihat
Kila, dia klien Papa.” lontar Papa. Tak sedikit pula yang merekam kejadian itu
melalui ponsel mereka masing-masing.
“Pa, apa wajar sama klien suap-suapan kayak gitu? Berpikir rasional
Pa! Sadar Pa sadar! Papa punya keluarga di rumah, kenapa masih cari kesenangan
lain diluar rumah?” emosiku memuncak melihat Papa yang selalu berbelit-belit
mencari alasan.
“Cih, anda murahan sekali ya sampe sampe mau jadi simpanan om om yang
sudah berkeluarga dan punya anak.” ucapku meremehkan wanita disebelah Papa yang
ku yakin itu adalah wanita bernama ‘Laras’.
“Cukup, Kila! Papa tidak pernah mengajarimu berbicara tidak sopan
seperti itu!” jawab Papa yang berdiri dari duduknya.
“Papa yang buat aku bisa berbicara seperti ini! Jadi jangan salahin
aku, dong!” protesku, enak saja aku disuruh diam saat mulutku masih belum puas
memaki-maki wanita itu dan Papa.
Plak!
“Anak tak tau diuntung!” Seperti
tersambar petir, tubuhku terdiam kaku tak percaya apa yang baru saja terjadi
kepadaku. Papa menamparku didepan banyak orang. Aku tersenyum miring menatap
Papa. Sekarang luka yang diciptakan Papa semakin dalam dan semakin sulit
dihapus dari ingatanku.
“Mulai sekarang, anda bisa keluar
dari rumah saya dan Bunda. Lupakan jika anda pernah berkeluarga dan memiliki
seorang anak perempuan. Selamat menempuh kehidupan baru, Pak! Semoga selalu
bahagia!” ucapku. Aku meraih tangan Papa, berjabat tangan dengannya. Seperti seorang yang senang menjalin
kerjasama dengan rekan kerjanya.
Sekarang gantian Papa yang diam
membeku. Terdiam, menatap tangan kanannya dan wajah dinginku secara bergantian.
Tanpa memperdulikannya aku langsung mengambil ranselku kemudian keluar dari
rumah makan tersebut. Suara gaduh tercipta didalam sana, membicarakanku dan
Papa. Aku tak peduli.
Aku lihat Papa sempat mengejarku sampai parkiran, sayangnya motor
kebanggaanku melaju lebih cepat sehingga bisa menjauh dari Papa. Aku pulang ke
rumah. Menceritakan semua hal kepada Bunda.
Aku menatap mata Bunda penuh harap, “Kila minta tolong, mulai
sekarang Bunda lupain pria brengsek itu ya.”
“Dia Papamu, Kila. Jangan tidak sopan kepada orang tua!” tegur Bunda.
Aku menatap sengit Bunda, “Apa masih bisa disebut orang tua kalau
kelakuannya saja seperti itu, Bun?” tanyaku.
“Sebenci apapun kamu, dia tetap Papamu, Kil. Meskipun Bunda sakit
hati dan kecewa kepadanya, dia tetap Papa kamu.” jawab Bunda memberiku sedikit
pengertian.
“Tapi, Kila gak mau berhubungan lagi dengan pria itu. Di keluarga ini
hanya ada Bunda dan Kila. Titik.” bantahku.
Selama 15 menit aku dan Bunda beradu argumen. Akhirnya kami
memutuskan untuk mencari jalan tengah dengan menjauhi semua hal yang berkaitan
dengan Papa. Juga dengan perceraian Bunda dan Papa.
Sekarang juga ada satpam yang menjaga pintu gerbang. Jadi aku tidak
risau kalau sewaktu-waktu Papa memaksa masuk ke rumah. Semua pakaian dan
barang-barang milik Papa akan aku kirim ke apartemen pribadi milik Papa besok.
Tidak ada yang bisa dinormalisasikan dari sebuah perselingkuhan. Tidak ada.
Tidak akan pernah ada.
Keesokannya aku mengemasi semua barang-barang Papa lalu memasukkannya
ke dalam bagasi mobil Bunda. Kesalahan Papa sudah fatal dimataku. Cukup sekali
saja aku merasakannya, tidak untuk diulang kedua kalinya.
Kunyalakan mobil Bunda, bersiap
melaju menuju apartemen milik Papa. Aku tahu pasti dimana Papa sekarang. Dia
pasti ada di apartemennya, entah dengan atau tanpa wanita itu. Aku tidak
peduli. Niatku hanya mengantarkan barang-barang Papa, tidak lebih dari itu.
Sesampainya disana, aku meminta
tolong kepada petugas apartemen untuk membawa barang-barang Papa ke lantai
sepuluh. Tak mungkin juga aku membawa empat koper besar sekaligus. Dua tanganku
masing-masing membawa satu koper, sedang dibelakangku petugas apartemen membawa
sisa kopernya. Setelah aku sampai di depan apartemen Papa, aku memasukkan
password apartemennya, semoga saja Papa tidak mengubahnya.
Klik
Tidak diubah ternyata. Tanpa
mengulur waktu, aku membuka pintu apartemen. Sejauh mata memandang, perabotan
rumah berada pada tempatnya masing-masing. Tertata dan rapi. Memasukkan
koper-koper besar itu kedalam kemudian menutup kembali pintunya. Petugas apartemen
bingung, tapi dia mencoba tersenyum dibalik raut wajah penasarannya.
“Terima kasih ya Mbak, Mas atas
bantuannya.” ucapku sembari tersenyum hangat ke arahnya.
“Sama-sama, Mbak.” jawab mereka tak
kalah ramah.
Di lobi aku berpapasan dengan Papa,
wajahnya murung, kantung matanya lebih gelap. “Kila?” panggilnya.
Aku menoleh sejenak lalu memutar
bola mataku malas. Papa mencoba mensejajarkan langkahnya denganku. “Papa minta
maaf, Kila.” ujarnya.
Papa berhasil meraih tangan kananku,
“Papa minta maaf, Kila.” ulangnya lagi.
“Maaf, Pak. Sangat tidak sopan jika
anda menyentuh orang asing.” jawabku dingin. Aku mencoba melepaskan cengkraman
tangan Papa dari tangan kananku. Namun bukannya terlepas tapi malah semakin
erat.
“Maaf, Pak. Saya ulangi sekali lagi.
Tolong singkirkan tangan kotor anda dari tangan saya atau saya panggil petugas
keamanan yang ada disini!!” peringatanku tidak digurbis oleh Papa.
“Papa minta maaf, Kila.” hanya
kata-kata itu yang bisa Papa keluarkan. Telingaku panas. Seakan-akan sedang ada
kawanan lebah berdengung ditelingaku.
“Pak security! Pak security!! Tolong
saya!” teriakku. Bapak security yang duduk manis di posnya segera berlari
menghampiriku.
“Pak, tolong jauhkan bapak ini dari
saya! Saya tidak mengenal bapak ini, Pak!” ucapku yang masih sibuk melepas
tangan Papa dari tanganku.
Bapak security itu langsung meraih
tubuh Papa, memegang tangannya yang mengenggam tanganku lalu menjauhkan tubuh
gagah itu dariku. Mendengar ada keributan, petugas apartemen lainnya mulai
berdatangan. “Terima kasih, Pak.” ucapku kepada bapak security.
Untuk terakhir kalinya aku menoleh
ke arah Papa sebelum memasuki mobil Bunda. Dari raut wajahnya terselip sedikit
rasa bersalah, hanya secuil, tak begitu berarti bagiku. Setelah itu kududukkan
diriku dikursi kemudi, dua menit kemudian mobil Bunda sudah melaju membelah
ramainya jalanan perkotaan.
Malamnya, aku mengirim sebuah pesan
kepada Papa.
‘Tenang Pak,
surat perceraian sudah saya dan Bunda urus. Anda hanya perlu menunggu surat itu
tergeletak tak berdaya dilantai apartemen anda.’
Kuhapus nomor Papa dari ponselku.
Sebelum itu kupastikan nomor Papa sudah ku blokir untuk selamanya agar tak ada
akses untuk dia menghubungiku lagi. Harus kubersihkan semua yang berkaitan
dengannya. Debu-debu kecil di rumahpun sudah kusapu keluar.
Rumahku dan Bunda sudah bersih sekarang. Hanya saja trauma itu yang
masih belum bisa aku hapus dari memori ingatanku. Karena peristiwa di masa
laluku, aku terluka. Aku menjelma menjadi gadis dingin yang tidak percaya
cinta, komitmen atau apapun sejenisnya. Setidaknya aku jadi banyak belajar dari
Papa. Sama seperti yang kubilang tadi, tidak ada yang bisa dinormalisasikan
dari sebuah perselingkuhan. Tidak ada.
Tidak akan pernah ada.
WanodyaMeraki
Sastra
Indonesia Angkatan 2023
IG:
@wanodyameraki
Aku terisak tanpa suara disudut kamar. Suara gemuruh petir diluar
sana sangat menggelegar, saling bersahutan. Tak lupa juga hawa dingin yang
membelai kulit hingga perlahan-lahan menusuk ke dalam tulang-tulangku.
“Maksud kamu apa sih? Aku gak paham
sama apa yang kamu omongin!” suara bariton itu terdengar jelas dipendengaranku.
“Siapa wanita yang semalam tidur
denganmu di hotel dekat persimpangan jalan besar itu?” seorang wanita menyahut
tak kalah ketus.
“Aku tidak tidur dengan wanita
manapun semalam!” lawan bicaranya menyangkal dengan nada tinggi, mencoba
membela diri.
“Jangan pernah mengelak! Aku punya
semua buktinya!” wanita itu bersikukuh dengan opininya.
“Bukti apa yang kamu punya? Bukti
apa yang menunjukkan kalau semalam aku tidur dengan wanita lain? Kamu punya
bukti apa hah?” pria itu menimpali dengan nada yang lebih tinggi lagi.
Dua tanganku menutup telinga. Suara
gemuruh itu semakin kuat, semakin lantang, semakin sering bersahutan. Aku
beranjak ke ranjang, meraih selimut dan membenamkan kepalaku dibalik bantal,
berusaha meredam suara petir diluar.
Prangg!
Suara lain mulai bermunculan,
sepertinya vas bunga kesukaanku baru saja tersenggol angin kencang. “Hanya
karena sebuah kertas kamu menuduhku berselingkuh?!” pria itu menepis semua
bukti-bukti yang ada.
“Walau cuma sebuah kertas, tapi di sana
tercantum nama kamu dan seorang wanita bernama Laras. Aku juga punya fotomu dan
foto wanita itu check out dari hotel.” gertak wanita itu lagi.
“Sudahlah, terserah apa katamu!
Semakin pusing kepalaku mendengar ucapanmu!” sang pria menghardik wanita itu.
Terdengar dari suara langkah
kakinya, pria itu sepertinya melangkah keluar meninggalkan rumah. Mesin mobil
mulai bersuara di garasi rumah yang perlahan pergi menjauh dari jangkauan
telingaku. Aku memberanikan diri untuk turun dari ranjang dan beranjak kearah
balkon kamar, memastikan bahwa Papa benar-benar sudah meninggalkan rumah.
Setelah itu aku melangkah keluar kamar lalu menuruni satu persatu anak tangga
menuju lantai satu rumahku. Kulihat Bunda duduk bersimpuh di lantai, menutup
wajah penuh air mata dengan kedua tangannya. Aku mendekat, melewati vas bunga
kesayanganku yang kini sudah tak berbentuk tersebar dilantai pualam di dekat
meja ruang keluarga. Malang sekali nasibnya, sama sepertiku.
“Bunda?” panggilku. Gemuruh petir
itu telah pergi digantikan hujan rintik-rintik yang mulai turun sedikit demi
sedikit. Aku memeluk tubuh rapuh Bunda. Tangisnya semakin pecah, rintik kecil
itu kini menjelma menjadi hujan deras. Satu persatu turun, beberapa rintiknya
masuk ke sela-sela serat pakaianku, sedang beberapa lainnya menyentuh kulit,
lalu perlahan turun, seolah tak betah lama-lama berlabuh disana.
“Bunda istirahat dulu, ya. Biar Kila
yang beresin ini semua.” ucapku, berniat membantu Bunda berdiri dari duduknya.
“Nggak usah, sayang. Biar Bunda aja
yang beresin, Kila balik ke kamar lagi gih, terus tidur siang.” tolak Bunda.
Aku paham, kondisi Bunda sedang
tidak baik-baik saja sekarang. Aku bukan anak kecil lagi. Usiaku sudah 18
tahun, aku sudah lebih dari cukup untuk memahami situasi seperti apa yang
sedang Bunda hadapi. “Bunda dengerin Kila, ya. Bunda istirahat aja dulu, diisi
dulu energinya, terus nanti masakin makanan kesukaan Kila!” jawabku dengan
antusias. Mengalihkan perhatian Bunda agar dia mau beristirahat di kamarnya
sekarang.
Bunda mengangguk. Aku membopong
tubuh lemah Bunda, menuntunnya menuju kamar. Aku merebahkan tubuh Bunda
perlahan, lalu menarik selimut sampai atas dadanya kemudian mengecup kening
Bunda sekilas. “Jangan dipikirin ya Bun, nanti Kila coba cari tahu tentang
Papa. Bunda istirahat yang cukup dulu…” ujarku sebelum benar-benar pergi
meninggalkan kamar Bunda.
Kini aku menatap bunga lily putih
yang berceceran bercampur dengan serpihan-serpihan vas bunga di lantai. Kupunguti
satu persatu serpihan itu lalu aku pindahkan kedalam tempat sampah, sesekali
tanganku tergores oleh serpihan itu. Tak apa, hanya luka kecil saja tidak
seberapa dengan luka yang diterima Bunda dari Papa. Kali ini Papa sudah
keterlaluan. Setelah kejadian ini aku harus mengambil tindakan tegas terhadap
Papa. Aku tidak boleh berdiam diri saja di kamar sembari menangis menunggu
Bunda dan Papa selesai bertengkar.
Menilik dua bulan terakhir Papa
sering sekali pulang larut malam atau bahkan tidak pulang ke rumah selama
berhari-hari. Jika aku atau Bunda bertanya, pasti Papa menjawab dengan alasan
lembur atau meeting dengan klien di luar kota. Awalnya aku dan Bunda fine-fine saja,
tapi semakin hari Papa semakin jarang pulang ke rumah. Papa juga semakin
tempramen kepadaku dan Bunda tentang segala hal, seperti mencari alasan untuk
meninggalkan rumah setiap waktu lewat perdebatan-perdebatan yang ada.
Tadi pagi-pagi sekali, Bunda pergi
mengendarai mobilnya. Melacak keberadaan Papa melalui gps yang Bunda aktifkan
di handphone Papa. Hotel dekat persimpangan jalan besar menjadi tempat
operasi pertama Bunda. Tepat saat Bunda tiba, Papa keluar bersama satu wanita
dari dalam hotel, tanpa pikir panjang Bunda mengambil beberapa foto Papa
sebagai bukti. Setelah keadaan terlihat kondusif Bunda keluar dari mobil lalu
menghampiri resepsionis hotel, memaksanya memberitahu Bunda siapa wanita yang
bermalam dengan Papa.
Tidak mudah membujuk resepsionis
itu. Lima belas menit kemudian Bunda berhasil membujuknya. Yang Bunda dapat
dari resepsionis hotel hanya nama wanita yang besama Papa tadi, Laras namanya.
Akhirnya Bunda pulang ke rumah dan bertemu dengan Papa di ruang keluarga.
Selanjutnya kejadian itu terjadi.
Ting!
Ponselku yang berada dikamar
berdenting, aku beranjak pergi mengambilnya. Pesan dari Papa rupanya. Aku
membacanya, Papa bilang dia tidak akan pulang selama beberapa hari. Lagi lagi
alasannya karena meeting dengan klien di luar kota. Tanganku lihai menari
diatas layar ponselku, mengetik beberapa huruf disana. Ku jawab singkat, tidak
lebih dari dua kata.
‘Iya, pa.’ jawabku.
Setelah itu aku berjalan ke arah
kamar Bunda, membuka pintunya pelan-pelan, memastikan Bunda istirahat dengan
nyaman. “Bunda tenang aja ya, Kila bakalan cari tahu tentang wanita itu. Kila
nggak bakalan biarin keluarga kita berantakan, Bun.” ucapku. Kututup lagi
rapat-rapat kamar Bunda. Beranjak pergi ke dapur untuk melihat buah-buah segar
apa yang ada didalam kulkas. Aku berdiri didepan pintu kulkas dan membukanya.
Ada beberapa buah mangga, pir, anggur dan melon.
Aku hanya mengeluarkan 3 buah
mangga, beberapa anggur dan sebuah pir lalu meletakkan buah-buahan itu di meja
makan. Kakiku melangkah masuk ke dapur untuk mengambil pisau dan beberapa
toples kecil sebagai tempat buah yang sudah dipotong. Selanjutnya aku kembali
lagi ke meja makan.
Setelah memotong, mencuci, dan
memasukkan semua buah-buahan itu kedalam wadah, aku duduk sejenak di ruang
makan. Aku butuh ketenangan sekarang. Ku ambil salah satu wadah berisi buah
mangga dan anggur sebagai cemilan, sisanya ku taruh kembali ke dalam kulkas
untuk Bunda.
Aku berlari-lari kecil ke lantai atas menuju kamarku. Mempersiapkan
keperluan dan memasukkannya kedalam ransel biru kecil nan cantik milikku.
Sweater serta motor kebanggaanku akan menemaniku sore ini. Bukit. Tujuanku
kesana sekarang, jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Sebelum pergi, kutulis
sebuah notes untuk Bunda yang biasa aku tempelkan dipintu kulkas jika aku ingin
berpergian.
‘Bun, Kila
keluar sebentar ya! Bunda jangan kemana-mana dulu kalau Kila belum pulang! Awas
aja sampai keluar rumah! Tadi Kila udah potongin beberapa buah dikulkas, Bunda
makan ya! Bye, Bunda! Kila sayang Bunda!’
-Kila
Aku mengunci pintu rumah dari luar dan memasukkannya ke dalam ransel
biru yang tersampir di bahuku. Di garasi, motorku sudah tidak sabar menunggu
pemiliknya datang. Jalanan sore ini tidak terlalu macet juga tidak terlalu
lenggang. Hembusan angin menerpa wajahku, perjalanan ke bukit biasanya aku
tempuh dengan waktu lima belas menit saja dari rumah.
Bukit, tidak banyak orang yang tahu tempat ini. Tempatnya masih asri
dan sangat terawat. Aku memarkirkan motorku, memastikannya tetap dalam
pengawasanku. Lalu aku beranjak naik ke atas, jalanan menanjak tak begitu
menjadi masalah bagiku. Merasa sudah pada tempat yang tepat, aku duduk di atas
rerumputan. Ku ambil earphone dari dalam tasku dan menghubungkannya dengan
handphoneku. Ku putar sebuah lagu yang akhir-akhir ini sering kudengarkan saat
sendirian di kamar.
Berteriak di
atas tenggorokan
Hujan serapah
dan makian
Hancur lebih
mudah dari bertahan
Kupelajari
sedari kecil
Alunan lagu berjudul ‘Taruh’ milik Nadin Amizah itu mengalir
lembut ke gendang telingaku, menyampaikan setiap pesan tersirat yang terdapat
disetiap bait-baitnya. Mataku beralih lurus menatap depan.
Memandang seluruh kota dari atas sini selalu menjadi aktivitas
favoritku. Sejauh mata memandang, bangunan-bangunan kokoh terpampang jelas di
depanku. Apalagi sekarang matahari akan pulang ke tempat peraduannya. Perpaduan
yang sangat sempurna.
Pandanganku kini tertuju pada sepasang ayah dan anak yang sedang
bercanda gurau ditempat yang tak jauh dari tempatku duduk. Keduanya saling
melempar tawa, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Yang pasti itu sangatlah
seru dibandingkan dengan diriku yang duduk termangu disini seperti orang
kehilangan arah hidupnya.
‘Papa sedang
apa dan dimana ya, sekarang?’ pertanyaan itu
tiba-tiba timbul di kepalaku. ‘Papa sadar
tidak dengan apa yang Papa perbuat? Itu menyakiti hati Bunda dan aku,
seandainya Papa tidak bermain dibelakang Bunda, mungkin sekarang kita sedang
sibuk berbincang di ruang keluarga membahas apa yang kita lakukan selama
seharian, melempar candaan dan lelucon konyol milik Papa, atau sekedar minum
teh hangat dan cookies buatan Bunda’
‘Pa… Apa Papa
tidak merindukan keluarga kecil kita yang dulu? Apa Papa tidak merindukan
obrolan hangat kita? Apa Papa tidak merindukan liburan ke pantai setiap satu
bulan sekali? Aku rindu Papa, tapi yang dulu.’ ingatan tentang Papa kembali
memenuhi isi kepalaku.
Air mataku kembali jatuh. Suara bentakan dan sahutan antara Bunda
dengan Papa terekam jelas ditelingaku. Terputar berulang kali seperti kaset
rusak.
Papa yang sedari dulu selalu aku hormati setelah Bunda ternyata
menjadi luka pertamaku. Luka yang membekas dan jejaknya mungkin tidak pernah
bisa terhapus hingga aku dewasa nanti. Sedangkan dibalik itu semua ada Bunda,
wanita yang tegar dan sabar menghadapi perilaku Papa selama dua bulan
belakangan ini.
Kecil, wajahmu
meraut sedih
Siapa yang
berlayar pergi
Melatihmu
sendiri
Menertawakan
sunyi
Sampai hatimu
lupa
Terbiasa perih
Handphoneku memutarkan lagu lain tapi masih dengan penyanyi yang
sama. Liriknya menyentuh sudut terdalam hatiku, menusuk dan terasa sesak. Akan
ku tarik lagi ucapanku tadi siang, Papa sudah menghancurkan keluarganya
sendiri. Aku tidak akan mencegahnya. Kalau akan hancur, biarlah hancur. Jika
bisa biarkan hingga menjadi abu.
Aku seperti sebuah tulang, yang jika sudah patah tidak akan
sepenuhnya sembuh dan tumbuh dengan sempurna seperti sediakala. Pasti akan
meninggalkan titik rapuh di sebagian tempat. Pasti akan rentan untuk patah
kembali.
Aku memenjamkan mata sejenak. Bun, amalan apa yang Bunda perbuat
sebelumnya hingga Allah memberi Bunda hati sekuat itu?
Hari semakin sore, aku harus pulang. Motorku kembali membelah jalanan
kota. Mataku sekilas melihat sesuatu yang tidak asing dimemoriku. Itu mobil
Papa! Aku yakin sekali itu mobil Papa! Aku hapal betul plat nomornya. Dengan
terus berhati-hati aku membuntuti mobil Papa dari jauh. Sudah seperti detektif
saja aku ini. Eh… Mobil Papa berbelok ke arah rumah makan yang ramai
pengunjungnya. Warung ayam geprek.
Tanpa berpikir dua kali aku masuk kesana setelah Papa dan wanita itu
masuk. “Mesra sekali mereka berdua sampai suap-suapan begitu.” gumamku sebal.
Aku yang tersulut emosi langsung menghampiri keduanya. “Oh… Gini
cara main Papa ya? Klien apa kok sampe makan suap-suapan gitu?” aku berteriak
lantang dihadapan Papa.
Papa terkejut mengetahui aku ada disana termasuk seluruh pengunjung
rumah makan yang mendengar suara teriakanku. “Ini nggak seperti yang kamu lihat
Kila, dia klien Papa.” lontar Papa. Tak sedikit pula yang merekam kejadian itu
melalui ponsel mereka masing-masing.
“Pa, apa wajar sama klien suap-suapan kayak gitu? Berpikir rasional
Pa! Sadar Pa sadar! Papa punya keluarga di rumah, kenapa masih cari kesenangan
lain diluar rumah?” emosiku memuncak melihat Papa yang selalu berbelit-belit
mencari alasan.
“Cih, anda murahan sekali ya sampe sampe mau jadi simpanan om om yang
sudah berkeluarga dan punya anak.” ucapku meremehkan wanita disebelah Papa yang
ku yakin itu adalah wanita bernama ‘Laras’.
“Cukup, Kila! Papa tidak pernah mengajarimu berbicara tidak sopan
seperti itu!” jawab Papa yang berdiri dari duduknya.
“Papa yang buat aku bisa berbicara seperti ini! Jadi jangan salahin
aku, dong!” protesku, enak saja aku disuruh diam saat mulutku masih belum puas
memaki-maki wanita itu dan Papa.
Plak!
“Anak tak tau diuntung!” Seperti
tersambar petir, tubuhku terdiam kaku tak percaya apa yang baru saja terjadi
kepadaku. Papa menamparku didepan banyak orang. Aku tersenyum miring menatap
Papa. Sekarang luka yang diciptakan Papa semakin dalam dan semakin sulit
dihapus dari ingatanku.
“Mulai sekarang, anda bisa keluar
dari rumah saya dan Bunda. Lupakan jika anda pernah berkeluarga dan memiliki
seorang anak perempuan. Selamat menempuh kehidupan baru, Pak! Semoga selalu
bahagia!” ucapku. Aku meraih tangan Papa, berjabat tangan dengannya. Seperti seorang yang senang menjalin
kerjasama dengan rekan kerjanya.
Sekarang gantian Papa yang diam
membeku. Terdiam, menatap tangan kanannya dan wajah dinginku secara bergantian.
Tanpa memperdulikannya aku langsung mengambil ranselku kemudian keluar dari
rumah makan tersebut. Suara gaduh tercipta didalam sana, membicarakanku dan
Papa. Aku tak peduli.
Aku lihat Papa sempat mengejarku sampai parkiran, sayangnya motor
kebanggaanku melaju lebih cepat sehingga bisa menjauh dari Papa. Aku pulang ke
rumah. Menceritakan semua hal kepada Bunda.
Aku menatap mata Bunda penuh harap, “Kila minta tolong, mulai
sekarang Bunda lupain pria brengsek itu ya.”
“Dia Papamu, Kila. Jangan tidak sopan kepada orang tua!” tegur Bunda.
Aku menatap sengit Bunda, “Apa masih bisa disebut orang tua kalau
kelakuannya saja seperti itu, Bun?” tanyaku.
“Sebenci apapun kamu, dia tetap Papamu, Kil. Meskipun Bunda sakit
hati dan kecewa kepadanya, dia tetap Papa kamu.” jawab Bunda memberiku sedikit
pengertian.
“Tapi, Kila gak mau berhubungan lagi dengan pria itu. Di keluarga ini
hanya ada Bunda dan Kila. Titik.” bantahku.
Selama 15 menit aku dan Bunda beradu argumen. Akhirnya kami
memutuskan untuk mencari jalan tengah dengan menjauhi semua hal yang berkaitan
dengan Papa. Juga dengan perceraian Bunda dan Papa.
Sekarang juga ada satpam yang menjaga pintu gerbang. Jadi aku tidak
risau kalau sewaktu-waktu Papa memaksa masuk ke rumah. Semua pakaian dan
barang-barang milik Papa akan aku kirim ke apartemen pribadi milik Papa besok.
Tidak ada yang bisa dinormalisasikan dari sebuah perselingkuhan. Tidak ada.
Tidak akan pernah ada.
Keesokannya aku mengemasi semua barang-barang Papa lalu memasukkannya
ke dalam bagasi mobil Bunda. Kesalahan Papa sudah fatal dimataku. Cukup sekali
saja aku merasakannya, tidak untuk diulang kedua kalinya.
Kunyalakan mobil Bunda, bersiap
melaju menuju apartemen milik Papa. Aku tahu pasti dimana Papa sekarang. Dia
pasti ada di apartemennya, entah dengan atau tanpa wanita itu. Aku tidak
peduli. Niatku hanya mengantarkan barang-barang Papa, tidak lebih dari itu.
Sesampainya disana, aku meminta
tolong kepada petugas apartemen untuk membawa barang-barang Papa ke lantai
sepuluh. Tak mungkin juga aku membawa empat koper besar sekaligus. Dua tanganku
masing-masing membawa satu koper, sedang dibelakangku petugas apartemen membawa
sisa kopernya. Setelah aku sampai di depan apartemen Papa, aku memasukkan
password apartemennya, semoga saja Papa tidak mengubahnya.
Klik
Tidak diubah ternyata. Tanpa
mengulur waktu, aku membuka pintu apartemen. Sejauh mata memandang, perabotan
rumah berada pada tempatnya masing-masing. Tertata dan rapi. Memasukkan
koper-koper besar itu kedalam kemudian menutup kembali pintunya. Petugas apartemen
bingung, tapi dia mencoba tersenyum dibalik raut wajah penasarannya.
“Terima kasih ya Mbak, Mas atas
bantuannya.” ucapku sembari tersenyum hangat ke arahnya.
“Sama-sama, Mbak.” jawab mereka tak
kalah ramah.
Di lobi aku berpapasan dengan Papa,
wajahnya murung, kantung matanya lebih gelap. “Kila?” panggilnya.
Aku menoleh sejenak lalu memutar
bola mataku malas. Papa mencoba mensejajarkan langkahnya denganku. “Papa minta
maaf, Kila.” ujarnya.
Papa berhasil meraih tangan kananku,
“Papa minta maaf, Kila.” ulangnya lagi.
“Maaf, Pak. Sangat tidak sopan jika
anda menyentuh orang asing.” jawabku dingin. Aku mencoba melepaskan cengkraman
tangan Papa dari tangan kananku. Namun bukannya terlepas tapi malah semakin
erat.
“Maaf, Pak. Saya ulangi sekali lagi.
Tolong singkirkan tangan kotor anda dari tangan saya atau saya panggil petugas
keamanan yang ada disini!!” peringatanku tidak digurbis oleh Papa.
“Papa minta maaf, Kila.” hanya
kata-kata itu yang bisa Papa keluarkan. Telingaku panas. Seakan-akan sedang ada
kawanan lebah berdengung ditelingaku.
“Pak security! Pak security!! Tolong
saya!” teriakku. Bapak security yang duduk manis di posnya segera berlari
menghampiriku.
“Pak, tolong jauhkan bapak ini dari
saya! Saya tidak mengenal bapak ini, Pak!” ucapku yang masih sibuk melepas
tangan Papa dari tanganku.
Bapak security itu langsung meraih
tubuh Papa, memegang tangannya yang mengenggam tanganku lalu menjauhkan tubuh
gagah itu dariku. Mendengar ada keributan, petugas apartemen lainnya mulai
berdatangan. “Terima kasih, Pak.” ucapku kepada bapak security.
Untuk terakhir kalinya aku menoleh
ke arah Papa sebelum memasuki mobil Bunda. Dari raut wajahnya terselip sedikit
rasa bersalah, hanya secuil, tak begitu berarti bagiku. Setelah itu kududukkan
diriku dikursi kemudi, dua menit kemudian mobil Bunda sudah melaju membelah
ramainya jalanan perkotaan.
Malamnya, aku mengirim sebuah pesan
kepada Papa.
‘Tenang Pak,
surat perceraian sudah saya dan Bunda urus. Anda hanya perlu menunggu surat itu
tergeletak tak berdaya dilantai apartemen anda.’
Kuhapus nomor Papa dari ponselku.
Sebelum itu kupastikan nomor Papa sudah ku blokir untuk selamanya agar tak ada
akses untuk dia menghubungiku lagi. Harus kubersihkan semua yang berkaitan
dengannya. Debu-debu kecil di rumahpun sudah kusapu keluar.
Rumahku dan Bunda sudah bersih sekarang. Hanya saja trauma itu yang
masih belum bisa aku hapus dari memori ingatanku. Karena peristiwa di masa
laluku, aku terluka. Aku menjelma menjadi gadis dingin yang tidak percaya
cinta, komitmen atau apapun sejenisnya. Setidaknya aku jadi banyak belajar dari
Papa. Sama seperti yang kubilang tadi, tidak ada yang bisa dinormalisasikan
dari sebuah perselingkuhan. Tidak ada.
Tidak akan pernah ada.
WanodyaMeraki
Sastra
Indonesia Angkatan 2023
IG:
@wanodyameraki