Latest Post

Chairil Anwar dan Kasak-kusuk Plagiarisme

Ketika
Chairil Anwar ditimpa tuduhan 
bahwa salah satu puisi termasyhurnya “Karawang-Bekasi” adalah plagiat, ada banyak hal yang semestinya kita
timbang-timbang, terutama, seberapa jauh “semesta kesusastraan” pribadi seseorang
mempengaruhi proses kreatif serta hasilnya, sebagaimana seberapa kuat kemungkinan seorang 
penggemar meniru sifat dan gaya hidup idolanya. 

Sebagian
besar manusia di dunia saya rasa pernah mendapati getaran hebat motivasi menapak
tingkat tertinggi torehan sosok idola mereka. Ingin mengubah tatanan dunia modern seberani Putin, bermain sepak bola sejago N’Golo Kante, menyabet gelar kehormatan semenggunung Megawati, menulis novel sekontroversial Salman
Rushdie. Alih-alih menjadi pribadi yang sepenuhnya baru dan berbeda,
mereka bercermin pada tokoh-tokoh itu. Salah satu penyebabnya, tentu gampangnya menelisik
riwayat hidup para idola. Membuat mereka merasa mudah menempuh jalan yang telah idola susur. 

Saya
tidak berusaha membenarkan apalagi membela Si Binatang Jalang. Plagiarisme
dengan motif apapun telah dan akan tetap melecehkan
kerja-kerja agung intelektual. Undang-undang pun dengan gamblang mengatur itu.
Namun, perlu kita pahami, seperti apa dan bagaimana sesungguhnya, sesuatu, yang saya sebut
sebagai “semesta kesusastraan” tadi mengukir corak intelektual sastrawan,
termasuk Chairil Anwar sang pujangga. 

Dalam
jurnal ilmiah berjudul “Legal Protection for the Impaired Creator by Plagiarism
Act”, terdapat dugaan bahwa Chairil Anwar menyontek puisi “The Young Dead
Soldiers Do Not Speak”, karya penyair Amerika Serikat, Archibald MacLeish.
Meskipun Jassin masih merasakan cita rasa orisinal Chairil dalam
“Karawang-Bekasi”, dia tidak betul-betul membantah tuduhan itu.   

Tak hanya Chairil. Tertahun 1963, Pramoedya Ananta Toer mendakwa novel Tenggelamnya
Kapal van Der Wijck
 
karya Hamka yang terbit pertama kali pada 1938, sebagai
hasil plagiat dari novel karangan sastrawan Mesir, Al-Manfaluthfi, berjudul
Magdalena.
Magdalena sendiri merupakan karya saduran dari syair berbahasa Prancis, Sous
les Tilleuls
karya Jean-Baptiste Alphonse Karr.

Meskipun
akhirnya Pram meminta maaf dengan cara mengirim calon menantunya kepada Hamka
untuk dituntun bersyahadat, tuduhan itu tidak juga mengendor. Bahkan Pram
mengurai dengan detail cara Hamka menjiplak. saling tuduh dan bantah ini
juga menyeret sastrawan lain dan membuat perseteruan antara Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu) semakin keruh. Di kemudian
hari, peristiwa ini diingat sebagai salah satu polemik sastra Indonesia
terbesar sepanjang sejarah. 

Sarah
Silverman, seorang penulis Amerika Serikat membatasi istilah plagiarisme
sebagai penulisan fakta, kutipan, atau pendapat yang didapat dari orang lain
atau buku, makalah, file, televisi, atau tape tanpa menyebutkan
sumbernya. Penyebutan sumber merupakan unsur terpenting ketika mengutip gagasan
orang lain. Kepada pemiliknya lah seorang peminjam harus hormat, jika tak
memungkinkan untuk memohon izin secara langsung.

Seorang
penulis yang meminjam atau mengambil sebagian atau keseluruhan isi, meniru
plot, nama tokoh atau unsur intrinsik lainnya dalam sebuah karya sastra bisa
jadi didorong oleh beberapa motif. 

Satu contoh, dalam serial animasi “Spongebob Squarepants”, ketika
Patrick Star mengutarakan keinginannya kepada Spongebob Squarepants bahwa ia
ingin memiliki pekerjaan, hal pertama (mungkin juga utama) yang Spongebob
tanyakan kepada Patrick adalah sesuatu yang paling Patrick sukai. 

Banyak penulis merasakan pengalaman demikian. Yang dia ingat tatkala hendak menulis adalah idolanya, yang dia sukai. “Aku ingin seperti dia”. Maka dia
berusaha meniru mereka. 

Di akhir cerita pendek “Perempuan Patah Hati yang
Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi”, Eka Kurniawan menyertakan catatan, bahwa
cerpen itu terinspirasi dari salah satu kisah yang ada di Seribu Satu Malam,
tindakan yang ditengarai dilakukan 
juga oleh Paulo Coelho pada The
Alchemist
. Eka juga tak segan mengaku bahwa novelnya yang masuk daftar panjang International Booker Prize 2016, Man Tiger, terisnspirasi dari Harimau Harimau!-nya Mochtar Lubis, Tujuh Manusia Harimau karya Motinggo Boesje, dan Crime and Punishment Fyodor Dostoevsky. 

Di Italia sana, didorong obsesi, Umberto
Eco menulis satu esai nakal berjudul “Granita”, parodi novel legendaris Rusia,
Lolita, karya Vladimir Nabokov.
Dalam esai itu Eco menamai tokohnya mirip dengan tokoh-tokoh di
Lolita; Granita pengganti Lolita, Umberto Umberto mewakili Humbert Humbert. Jika saja
Eco tak menyebut Nabokov, mungkin publik serta
merta mendakwanya plagiat. Namun, 
sekalipun sama meniru, parodi tetaplah parodi, bukan plagiat. 

Perihal kasus plagiarisme Chairil Anwar, beberapa sastrawan membantah keras tuduhan tersebut.
Mereka beranggapan Chairil hanya mengambil inti-inti bacaan-bacaan favoritnya,
terutama bacaan berbahasa asing, lalu Chairil akomodir dalam bentuk-bentuk “dunia”
sastra berbahasa Indonesia. Itu merupakan kreativitas Chairil sebagai
penggandrung puisi-puisi asing.

Di
sisi seberang, pihak kontra Chairil memiliki argumen tak kalah kuat, mereka menemukan
kemiripan yang sulit dibantah antara “Karawang-Bekasi” dengan “The Young Dead
Soldiers Do Not Speak”. Salah satunya melalui baris berikut, /Kami mati muda.
Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami/, yang mirip dengan,
/They say, We were young. We have died. Remember us/. 

Sampai saat ini, Chairil masih dicap sebagai plagiator oleh sebagian masyarakat sastra Indonesia. Namun, sebagian sastrawan, sama seperti H.B. Jassin dahulu, membedakan karya Chairil menjadi beberapa jenis: terjemahan, saduran, karya asli. 

Harus
diakui bahwa kemurnian, orisinalitas, dan kejernihan karya sastra merupakan
sesuatu yang sukar. Sulit dipungkiri masa kini adalah warisan masa lalu. Penulis modern
merupakan pembaca tekun karya klasik. Kita tak akan pernah mengenal Joko
Pinurbo jika tak ada Chairil bahkan Amir Hamzah. Sebagaimana tak akan pernah membaca One Hundred Years of Solitude jika The Old Man and The Sea
dan The Metamorphosis tak pernah terbit. Jalan tengahnya adalah terus
berkarya dengan memaksimalkan internalisasi diri sembari menekan intervensi
eksternal.


Oleh Hilmi Lukman Baskoro, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2020

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Login