Latest Post

Di Atas Rumah Kami

Di atas rumah
kami, kilat berwarna merah mawar menyambar-nyambar.

“Ibu,
maafkan aku,” rintihku sembari bersimpuh di bawah telapak kaki Ibu.

Di atas rumah
kami, mega-mega bergulung memenuhi pandangan dari satu cakrawala ke cakrawala
lain, menghalangi kehangatan sinar matahari dengan jarum-jarum bening yang
tumpah dari langit. Aku bahkan tak sempat mengangkat jemuran tadi subuh ke
tempat yang lebih aman. Ibu hanya berpose dalam diam sembari menghadap jendela,
tangan keriputnya saling bertautan seolah-olah tengah khusyuk dalam berdoa.

“Aku masih
ingat, dulu Ayahmu pernah bercerita, bahwa hanya orang paling celakalah yang
akan berhadapan dengan hari akhir. “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
yang bertemu hari itu. Merekalah seburuk-buruknya makhluk.” Masih ingatkah
engkau tentang itu?” tanya Ibu dengan suara selembut untaian kapas.

Tidak, aku tak
ingin Ibuku gelisah di saat-saat genting semacam ini. Cukuplah diagnosis dokter
bahwa hidupnya tinggal menghitung bulan, aku tak butuh lebih banyak kabar
buruk. Dari tadi hendak kusetir pembicaraan ke arah yang lebih cerah, bahagia,
dan penuh akan penerimaan, tetapi tampaknya sia-sia saja.

Semangkuk bubur
hangat yang tadi subuh kumasak sepertinya sudah mendingin di meja kecil yang
ada di sebelah kasur Ibu. Jari-jariku gemetar, tak peduli seberapa keras dan
seberapa banyak kuyakinkan diri sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Kubendung air di pelupuk dan berujar pelan, “Ibu, coba makanlah bubur ini,
bukankah ini kesukaan Ibu? Ibu masih ingat, ‘kan?”

Ibu hanya diam
dan tersenyum masam. Mungkin dia perlu waktu dan keleluasaan untuk memproses
apa yang baru saja terjadi. Kubiarkan sunyi bertakhta di antara kami sejenak
selagi aku menghela napas dalam-dalam.

Dengan bantuan sebuah
tongkat kayu, Ibu—yang tampaknya tak mampu lagi berkata-kata dilihat dari air
mukanya—kutuntun untuk melangkah perlahan. Langkah kaki kami seakan menggema di
rumah kecil yang sepi ini. Semenjak kepergian Bapak, hanya aku yang tersisa
untuk merawat Ibu, sedangkan saudara-saudaraku kini sudah terlalu fokus dengan
keluarga mereka masing-masing.

Begitu
kunyalakan radio usang peninggalan Bapak, mulutku ternganga hebat. Ternyata
bukan hanya aku yang merasakan anomali, nyaris semua stasiun televisi memberitakan
hal yang sama. Kawanan awan kelam tersebar nyaris secara merata di berbagai
penjuru dunia, seolah-olah kemarin Gunung Krakatau atau Tambora baru saja
meletus bersamaan dan Bumi tak lagi memperoleh pasokan sinar matahari
karenanya. Suara-suara dan dengungan aneh turun dari langit dan menggetarkan
hati penduduk setempat. Ibu menutup mulut dengan kedua telapak tangan begitu
berita soal kerusuhan tak terkendali di Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Ambon,
dan Kendari meluap ke permukaan. Aku tak tega menyaksikannya.

Aku bergegas
keluar dari kamar dalam posisi belum berbenah diri. Rasa-rasanya aku sudah tak
peduli lagi dengan rambutku yang agak berantakan. Apakah orang lain mengalami
hal yang sama? Apakah ini tidak seburuk seperti apa yang kulihat? Tidak, ini lebih
buruk daripada yang kubayangkan.

“Apa yang
sudah terjadi?” teriakku menyaksikan langit penuh awan kelam yang sesekali
terbelah seperti kilatan minyak berwarna merah mawar. Daun-daun trembesi
berguguran terkena angin kencang yang muncul dari arah barat. Kucing-kucing
peliharaanku kabur entah ke mana.

Di atas rumah
kami, suara dengungan mirip letupan terompet tiba-tiba mengangkasa.

[DIBACA DARI
BAWAH KE ATAS
]


Oleh Akmal Rahman Hanif, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2021

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Login