Apa Kata
Saya, Lah*
Jika benar tampuk
kepemimpinan menjadikan seseorang lebih berkuasa atas yang lain, kemungkinan besar dunia akan dikendalikan hanya oleh
segelintir orang saja. Para
presiden akan berkomplot untuk menaklukkan dunia,
kepala organisasi-organisasi internasional berusaha
mendulang basis kekuatan, dan pemilik
perusahaan-perusahaan besar semakin
gencar memobilisasi pelanggan.
Namun, bukankah saat ini kondisi demikian sudah terjadi? Tidak sadarkah kita bahwa
dunia hanya merupakan kelereng dalam genggaman tangan-tangan kuat para elit?
Presiden menjadi orang yang pendapatnya paling diperhitungkan
dalam segala macam kebijakan negara.
Amerika Serikat, yang mengaku sebagai negara adidaya, semakin lama semakin
berkuasa. Dan WhatsApp, perusahaan perpesanan digital paling banyak digunakan,
dengan semena-mena hendak membagikan data pribadi pengguna kepada perusahaan
induknya.
Selalu ada
semacam naluri ketidakpuasan dalam diri setiap manusia. Mungkin kita telah
mendapatkan rezeki yang cukup untuk hari ini dan beberapa hari ke depan. Namun,
itu tidak serta-merta membuat puas. Sebagaimana penguasa satu organisasi selalu
tergiur untuk menguasai organisasi lain.
Melalui
cerpen
“Kuil”,
Gao Xingjian sedikit menyinggung
superioritas. Cerpen ini bagus terutama Xingjian
sangat lihai membuat sesuatu yang bisa ditulis sebagai hal yang getir menjadi
perkara yang terkesan biasa saja.
Benar bahwa dia
berbicara seolah
superioritas adalah hal yang
biasa. Tapi mungkin untuk beberapa orang, termasuk saya, fenomena superioritas ialah persoalan serius.
Cerita itu bermula
ketika sepasang pengantin baru pergi dari kota mereka ke sebuah desa untuk
berbulan madu. Mereka akan merayakan pernikahannya dengan menikmati keindahan
dan ketenangan desa.
Mereka mengunjungi
sebuah kuil. Seraya merasakan kebahagiaan perkawinan itu, mereka asyik
menikmati suasana desa yang tenang. Wajar saja, mereka lama bekerja keras di
kota yang sibuk. Bahkan untuk bulan madu ini, mereka hanya punya waktu dua pekan.
Melihat ternyata desa
telah berubah semenjak terakhir kali mereka berkunjung, mereka sedikit merasakan
keasingan. Saat ini mereka hanya seorang
pelancong, wisatawan yang
berlibur. Dan sebagai warga kota, mereka merasa
agak
superior.
Kesan superioritas yang
mereka berdua rasakan dapat dikatakan sebagai superioritas konsumen atas
produsen. Bagaimanapun, wisatawan berlaku
sebagai konsumen, yang menikmati produk dan
layanan pengelola destinasi, sang
produsen. Kerapkali konsumen merasa lebih unggul
dibanding produsen. Maka tak heran bilamana
muncul penganggapan bahwa pembeli adalah raja.
Hal seperti ini juga terjadi pada
laki-laki atas perempuan. Bisa dibilang, pada dasarnya, pernikahan adalah
sebuah transaksi jual-beli. Pengantin pria membayar mas kawin kepada keluarga
pengantin wanita sebagai ganti agar si
pria
berhak memiliki si wanita.
Penyebutan perkawinan
sebagai jual-beli, yang saat ini masih sangat dihindari, hanya untuk menghormati
perempuan sebagai manusia. Tapi, apabila
dilihat dengan lebih mendasar,
bukankah perempuan serupa
dengan barang? Oleh sebab itu,
karena suami berada di pihak konsumen dan
istri di pihak produsen, berlakulah hukum jual-beli: pembeli adalah raja. Betul
saja suami masih sering menjadi
sosok yang superior dalam tatanan rumah tangga.
Superioritas dapat timbul karena adanya sebuah susunan hierarki. Sesuatu yang lebih
tinggi sering dianggap lebih unggul daripada yang bawah. Atau kita balik,
sesuatu yang rendah sering dipandang remeh oleh
yang tinggi.
Dalam sebuah negara,
pemerintah menempati urutan teratas dalan susunan hierarki. Tak jarang
kekuasaan yang pemerintah emban membuat para pelakunya duduk terlampau nyaman.
Sehingga mereka tergiur untuk melakukan tindakan semena-mena tanpa peduli
kepada nasib rakyat yang mereka bawahi.
Kita juga bisa melihat
bagaimana Amerika Serikat berlaku sebagai polisi dunia. Dia memiliki semacam
kontrol atas bagaimana
seharusnya permasalahan internasional ditangani dan diselesaikan.
Kita tengok juga WhatsApp
mulai berlaku seenaknya sendiri atas pelanggan-pelanggannya. Meski data pengguna hanya diberikan kepada
perusahaan induknya,
yaitu Facebook, hal
ini cukup meresahkan. Langkah ini disinyalir karena
WhatsApp tergiur untuk mendominasi
lebih luas. ‘Apa kata saya, lah’
mungkin seperti kata WhatsApp. Dia ingin pelanggannya berada dalam genggamannya.
Gao Xingjian, seorang sastrawan
Cina yang eksil ke Prancis. Dia telah berkali-kali berurusan serius dengan
Pemerintah Komunis Cina. Bahkan dia nyaris dipenjara karena tulisan-tulisannya
yang dianggap membangkang.
Superioritas dalam
ceritanya saya rasa adalah rasa yang Xingjian alami sendiri. Sepasang pengantin dari kota yang merasa lebih superior
ketimbang penduduk desa setempat
itu sama seperti Xingjian.
Ketika dia memilih eksil ke Prancis, dia memandang Cina hanya sebagai sebuah
desa: kecil, terpencil, dan tradisional. Berbeda
dengan Prancis kala itu, negara di Eropa Barat yang mewah dan maju.
Jika superioritas seperti di atas terus–menerus berlangsung
tanpa ada usaha untuk menghentikan
atau membuat sebuah tandingan, maka
tak heran apabila dalam waktu
dekat dunia betul-betul
akan dikuasai oleh segelintir orang saja. Dunia
akan semakin terpusat pada satu kekuatan semata, Amerika Serikat akan semakin
menjadi kekuatan adidaya, dan WhatApp serta perusahaan mitranya akan semakin
erat menggenggam pelanggan.
*Hilmi Lukman Baskoro,
mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2020.