Latest Post

Memaknai Kebahagiaan Melalui Epistemologi Jawa

Jika kita berbicara tentang kebahagiaan, tentu hal tersebut telah menjadi aspirasi setiap manusia. Pada umumnya proses manusia untuk mencapai sebuah kebahagiaan akan berusaha mencari kenikmatan sebanyak-banyaknya dan menjauhi ketidaknyamanan sebisa mungkin. Namun, selama manusia masih fokus untuk mengejar kebahagiaan maka tidak akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, karena kebahagiaan yang semakin kita cari akan semakin tinggi kapasitasnya. Tentu tidak ada salahnya mengupayakan apa yang diinginkan, tetapi bagaimana jika kebahagiaan tersebut kita ciptakan, tentu tetap dengan melakukan usaha untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Jadi Begini, Jika bahagia kita ciptakan maka dalam proses mencari kebahagiaan manusia akan menikmati segala tantangan dengan penuh ketentraman, kita pun sudah ciptakan bahagia saat proses mengejar kebahagiaan itu sendiri. Entah berhasil atau tidak kita akan tetap menerima, sebab pada awalnya sudah membangun kebahagiaan. Pernyataan pada “sebenarnya kebahagiaan tidak boleh dicari”, bukan semata-mata pernyataan tersebut adalah larangan namun, selagi mencari kita ciptakan kebahagiaan itu dulu. Saat manusia mencari kebahagiaan terlebih dahulu manusia tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang hakiki karena hanya berfokus pada nafsu atas pencarian kebahagiaan tersebut. Tentu jika ada pertanyaan, “lebih bijak mana orang yang bahagianya makan dan minum kopi di jalan, dengan orang yang bahagianya harus makan dan minum kopi di restoran?” Tentu kita tahu siapa yang lebih bijak, jika kita bisa memaknai kebahagiaan sesederhana mungkin. Maka kita dapat memaknai kebahagiaan sebesar apapun dan berlatih menciptakan kebahagiaan dari yang sederhana. Kebahagiaan diperoleh dari sebuah perenungan yang sifatnya transendental maka, kunci kebahagiaan ialah menerima atau dalam filsafat Jawa disebut legowo. Kebahagiaan telah menjadi bahan kajian para filsuf Eropa sejak ratusan tahun lalu, mulai dari hedonisme, eudaemonism, dan stoikisme, tapi kali ini kita tidak akan membahas kebahagiaan dari para pemikir occidentalis, tetapi kita akan membahas dari filsafat lokal Jawanisme.

Teosofi Jawa

Kali ini kita akan membahas teosofi, teosofi adalah landasan tertinggi pikiran dalam masyarakat Jawa, karena didasarkan oleh pendalaman batin. Dalam pencapai tahap ini seseorang harus bisa memperdalam unsur altruistiknya yaitu sikap yang bersifat naluri dan intuitif. Tentu hal ini berpengaruh saat kita memaknai dan menyikapi setiap masalah. Melalui tindakan batin ini manusia dapat menguasai ngelmu kasidan yaitu ilmu yang menjadi tuntunan sangu dalam hidup untuk mati. Tentu jika kita belajar filosofi ini kebahagiaan dapat kita pupuk dari dalam batin. Dalam keadaan apa pun bahagia dan batin merupakan homologi yang harus kita kelola dengan proses kontemplasi. Semakin kita sering berkontemplasi kita akan memahami diri sendiri dan menerima segala keterbatasan kita, bukan berarti kita tidak optimis tapi kita tahu batasan dalam pengendalian diri. Dengan memahami diri sendiri kita lebih mudah dalam memaknai kebahagiaan. Apalagi di tengah pengaruh sosial media informasi yang serba cepat menuntut kita untuk selalu kompetitif dengan orang lain yang berpotensi membuat kita merasa cemas, iri, insecure, yang sifatnya destruktif tanpa kita sadari, mulai dari melihat postingan teman kita yang bisa cumlaude, terpilih menjadi ketua organisasi, tulisannya masuk jurnal Internasional dan validasi lainya. Pada akhirnya kita berusaha untuk mengejar keterbelakangan kita untuk menyamai orang-orang. Pada dasarnya sesuatu yang mereka ekspos adalah sisi positif mereka saja. Tidak hanya sebatas dunia sosial media saja dalam kehidupan nyata tentu harus kita kontrol agar kita tidak termakan keambisiusan kita sendiri dengan strategi dan landasan berpikir yang sehat. Strategi dengan memperhitungkan secara presisif untuk mencapai sebuah keberhasilan, kita harus memperhitungkan dengan cermat rencana selanjutnya agar jika tidak sesuai dengan ekspektasi kita tidak terlalu terpuruk dan kita bisa memulai kembali dengan presisi yang telah diperhitungkan di depan. Landasan yang kokoh dengan mengelola pikiran dan batin kita tetap sehat secara mental agar kita bisa memahami diri kita sendiri seperti yang dijelaskan di atas bahwa di setiap langkah adalah pencapaian yang patut dirayakan. Pernyataan bahwa pikiran merupakan satu-satunya hal yang bisa kita kendalikan untuk menyikapi masalah dengan menerima atau menolak adalah benar. Dengan begitu kebahagiaan akan selalu kita ciptakan dengan sadar dan sehat.

Mbabar Jati Diri

Mbabar jati diri dapat memberikan penjelasan bahwa hidup mampu menguasai diri baik lahir maupun batin. Dalam epistemologi Jawa disebut mawas diri yang artinya mampu menguraikan dan memahami diri. Pemikiran masyarakat Jawa yang seperti ini memiliki cerminan diri yang sangat tinggi. Jika kita pahami lebih dalam pemikiran mbabar jati diri inilah yang tidak dimiliki masyarakat pada saat ini, mereka tidak mampu melihat bahkan menyapa dirinya sendiri untuk memaknai arti hidup. Masyarakat sekarang lebih terpaku pada bahagia yang bentuknya material. Dengan adanya filosofi ini kita dapat meningkatkan kepercayaan diri dan tidak mudah menganggap ketertinggalan adalah suatu permasalahan dalam hidup, namun bisa jadi ketertinggalan tersebut adalah suatu keselamatan untuk kita dari sebuah permasalahan yang lebih rumit nantinya. Bayangkan jika kita dalam segala ketidakcapaian namun masih memiliki pemikiran seperti ini, tentu setiap hal ada hikmah yang kita ambil. Poin terpentingnya adalah kesehatan mental yang harus dijaga agar tetap waras. Sejatinya tidak ada yang bisa membunuh manusia kecuali pikirannya sendiri.

Gumelaring Agesang

Memasuki zaman kebuyutan dalam perjalanan budaya Jawa terdapat konsep yang bernama gumelaring agesang (kesejatian hidup) paham ini menempatkan budi sebagai dasar pemikiran setiap manusia. Budi adalah alternatif batin untuk mengontrol pikiran agar kita memahami baik buruk sebuah tindakan. Dalam menilai suatu tindakan tentu kita perlu perbandingan agar kita dapat mengukur seberapa besar resiko yang akan kita ambil. Keadaan ini berguna untuk mengambil dan memberi nilai sebuah tindakan yang berpengaruh kepada panca indera atau sensibilitas kita dalam merasa, melihat, mendengar, dan menghirup. Konsep ini populer dengan sebutan hidup selaras dengan alam. Hal ini bertujuan untuk menjadikan manusia lebih bijaksana dalam mencapai kebahagiaan abadi yang disebut suwung atau keadaan kosong. Dalam keadaan suwung ini manusia tidak lagi memikirkan kebahagiaan yang sifatnya material, melainkan mereka sudah mampu untuk menciptakan kebahagian dan tidak memikirkan apapun kecuali kepada hal-hal yang dalam kendali mereka yaitu dari pertimbangan suatu hal yang dapat dimaknai (inklusif) alih-alih sesuatu yang belum dapat dimaknai (eksklusif). Keadaan batiniyah ini tentu bisa kalah oleh keadaan pemikiran yang dipenuhi dengan sisi keegoisan, keserakahan, kejahatan, dan segala tindakan tidak baik lainnya. Maka dari itu budi berperan sebagai kontrol agar dapat terjaga dari nafsu dan ketamakan. Jika kita kaitkan dengan hal kebahagiaan nafsu yang terbalut dalam kata “optimisme” tanpa kita sadari itu adalah penyebab dari kegelisahan manusia, kita selalu dituntut untuk menjadi kuat padahal kita perlu istirahat dan mendengarkan suara dari dalam diri kita. Maka dari itu kita perlu menempatkan budi sebagai landasan berpikir untuk melakukan sebuah tindakan. Apabila suara tidak lagi hening itu merupakan pertanda bagi jiwa yang merapuh.

Hal yang dapat disimpulkan dari ketiga konsep di atas sebenarnya mengarah kepada satu konklusi yaitu pikiran yang mampu menerima dan menciptakan kebahagiaan. Entah seberapa banyak kebahagiaan yang kita dapat jika kita tidak mawas diri maka tidak mungkin tercipta kebahagiaan yang hakiki, sebaliknya jika kita bisa mengamalkan ketiga konsep tersebut maka cara kita menyikapi dan memaknai hidup akan berbeda yakni hidup selaras dengan alam. Konstruksi pikiran masyarakat Jawa tersebut mempengaruhi pola kehidupan pada nasib, bukan berarti tanpa usaha, namun dalam pengertian masyarakat Jawa dinamakan kabegjan atau keberuntungan yang disertai usaha. Melihat kembali asal-usul dan tujuan hidup manusia, nasib sebenarnya hasil dari usaha untuk mencapai sebuah keinginan. Untuk memahami filsafat sebenarnya kita tidak selalu harus berkaca pada dunia barat, di Indonesia sendiri ajaran untuk memaknai hidup beraneka ragam, namun sayangnya tidak banyak masyarakat lokal mengetahui hal itu. Kurangnya eksplorasi dapat mengakibatkan masyarakatnya sendiri menganggap bahwa hal yang berbau Jawa selalu berkaitan dengan sesuatu yang konservatif, mistis berbau supranatural yang tidak relevan dengan zaman, tetapi local wisdom inilah yang jarang sekali dijamah masyarakat modern dan juga hal inilah yang tidak dimiliki masyarakat sekalipun para pemikir barat. Tentu kita harus melestarikan warisan nenek moyang kita untuk melihat jejak para pemikir orang Jawa terdahulu. Perbedaan filsafat barat dan Jawa terletak pada proses pemasyarakatannya yang berbeda, jika di dunia barat berbentuk teoretis bermetodekan penalaran murni, sedangkan di Jawa lebih ke arah praktis dan bermetodekan cinta. Tidak hanya itu, perihal ontologis masyarakat barat menganggap eksistensi tertinggi adalah rasionalitas maka di Jawa menganggap eksistensi tertinggi adalah spiritualitas. Oleh karena itu, masyarakat percaya bahwa bahagia tidak selalu tentang materi tapi ketenangan batin dan kemampuan untuk menerima segala usaha.

Muhammad Dafid Ibrahim
Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2023

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Login