Latest Post

Mengadopsi Kertas Putih: Iktikad Puisi yang Belum Berhasil Menjadi Puitik

Mengadopsi Kertas Putih: Iktikad Puisi yang Belum Berhasil Menjadi Puitik
Oleh: Rizal Kurniawan

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, saya dan tiga kawan saya dari Divisi Pendidikan dan Penalaran IMASIND harus menjalankan program kerja secara daring, dengan jarak ketemu yang hampir mustahil. Program kerja insidental, yaitu lomba cipta puisi yang kemudian diantologikan di akhir kepengurusan, dengan yakin dan agak berberat hati kami majukan, – tanpa meninggalkan proses diskusi dengan pengurus-penggurus lain –, kita tahu sendiri, pandemi Corona memang benar-benar merusak ekspetasi manusia. Pada akhirnya, kredo ‘jarak bukanlah penghalang’ adalah kebohongan paling laris yang terus diobral lalu dijadikan konsumsi manusia sehari-hari.
Seolah-olah keterbatasan jarak tidak mengisyaratkan bakal ada semacam kejadian ‘serba tak terduga’ di dalamnya. Kami merasakan titik itu, kami harus mengerjakan program kerja di rumah masing-masing dengan hanya bermadzab pada sinyal untuk komunikasi yang intens, ngobrol ngalur-ngidul mikirin konsep sekaligus teknis, dengan iklim rumah, lebih tepatnya kamar pribadi yang sama sekali berbeda dari kehidupan kampus. Terkadang, kami harus merelakan barang sejam dua jam mengencani gadget untuk sekedar mengabarkan progres terbaru atau bahkan problem di grup wasap untuk kemudian ditindaklanjuti, sebelum ada pekikan –untuk tidak mengatakannya omelan– dari luar kamar, “Le, Nduk, bantu iki.” dari orangtua di rumah. Rasa-rasanya tak pernah demikian khusyuk kami berpikir satu arah, ada-ada saja kejadian yang siap mengancam ketumakninahan kami dalam mengerjakan proker.

Dengan sisa-sisa kepercayaan diri, kami akhirnya menggarap benar-benar proker ini. Meski tidak seperti NKRI yang harga mati, tidak sombong, kami berempat tetap mengedepankan kegesitan dan kelincahan dalam melakukan kerja-kerja keikhlasan ini. Mulai dari mencari penerbit yang cocok, maksudnya penerbit kompeten, punya sepak terjang yang lumayan, dan ini yang tak kalah penting, harga yang marhein. Lalu membuat semacam timeline dan rancangan-rancangan, kapan pendaftaran dibuka, kapan pendaftaran ditutup, berapa lama waktu juri menilai, berapa lama waktu yang dibutuhkan panitia untuk merekap nilai dari dewan juri, menghubungi beberapa dosen untuk endorsment basa-basi sebagai strategi market yang ampuh. Hal itu kami lakukan secara sistemik dan sangat sabar. Sabar sekali.
Setelah itu, ini yang tak kalah melelahkan, proses pemilihan dewan juri. Kami berempat, (berangkat dari saya) mempunyai cita-cita yang agung terhadap puisi. Oleh sebab itu, kami tidak ingin sembarangan dan berpikiran prematur dalam memilih dewan juri. Juri antologi puisi tahun ini harus keren lahir batin, piawai dan akrab dalam dunia kesusasteraan, lebih-lebih dalam dunia puisi. Mereka adalah para seniman dan penulis muda, –belum nikah– namun karyanya lebih banyak dari hitungan umurnya, sangat kritis dan kampiun dalam urusan perpuisian. Saya tidak akan menyebut berapa penghargaan yang telah mereka kantongi dari puisi. Di samping iri, sebagai sesama penulis puisi, saya agak gengsi memuji-muji karya mereka yang lebih moncer daripada saya. Tidak, untuk yang ini bercanda.

Kebetulan, juri-juri yang kami pilih adalah lulusan jurusan sastra Indonesia FIB UNEJ (dulunya fakultas sastra). Entah ini kabar baik atau menjadi semacam beban moral. Juri pertama, Halim Bahriz. Seorang seniman sekaligus penulis multidisipliner, yang masih menyisahkan jiwa-jiwa kefotografian. Tulisan-tulisan puisinya yang acapkali ‘gelap’, penuh ledakan, jarang berkisah secara lugas dan sulit ditebak menjadi ciri-ciri yang boleh jadi dapat dikatakan sebagai pegangan untuk mengidentifikasi karya-karyanya. Buku antologi puisinya yang terbaru Igauan Seismograf, bagi saya sama sulitnya ketika membaca qurrotul uyun yang masih gundul. Sukar terbaca, penuh rahasia namun punya daya magis untuk menarik setiap pembacanya. Juri kedua, Ibnu Wicaksono. Penyair yang cukup intens menulis puisi-puisi panggung, gaya tulisannya yang tegas sedang di lain sisi melankolis, berima-rima namun sama sekali tidak menghilangkan substansi dan topik pembicaraan dalam puisinya, cerdas dalam menggunakan stilistika, dan ini yang menjadi ciri khas, ketaatannya pada persoalan gramatika dan kaidah kebakuan dalam bahasa. Yang terakhir, Bening Siti Aisyah. Penyair dengan gaya puisi naratifnya yang lugas namun kuat tanpa menghilangkan kesan puitik, sastrawi namun tetap mempertahankan nilai manusiawi. Penilaian subjektif saya terhadap 3 juri di atas mungkin terdengar hiperbolis, tapi dari pengalaman dan proses baca singkat saya, saya menangkap kekhasan itu dalam setiap karya-karya mereka bertiga.

 Dari proses kurasi dan penilaian dewan juri, sebenarnya ini urusan dapur kepengurusan, tapi ketika saya pikir-pikir lagi, tidak ada salahnya jika saya kabarkan pada seluruh mahasiswa (peserta) yang megirimkan puisinya kepada kami, dalam hal ini panitia. Memang akan terdengar seperti sambaran petir di siang bolong, tapi mungkin ini menjadi salah satu cara agar kita sama-sama tetap terus belajar dan refleksi diri. Salah satu juri ketika selesai menilai puisi-puisi memberi catatan di bawah penilaian berbunyi kurang lebih, “Sebagian puisi masih mentah, saya merasa terkena muntaber tidaklah lebih buruk ketimbang keharusan menilai semua judul puisi yang diberikan kepada saya.”. Jleb, kalimat yang langsung menuju dan meremas-remas jantung paling dalam. Seolah-olah begitu menjijikannya puisi-puisi yang diikutkan dalam perlombaan cipta puisi ini. Sangat rendah, memble dan buruk. Saya merasa menjadi manusia yang paling tertampar. Minimnya literatur sastra, daya imaji dan kesadaran puitik –yang melekat pada mahasiswa– sebab mungkin kemalasan mencari tau menjadi faktor paling serius dalam proses kreatif menuju suatu karya. Saya rasa ada benarnya juri tadi, dan saya mengamini. Saya bukan bermaksud melecehkan ataupun merasa paling tau, tetapi ini menjadi tanggung jawab kolektif mahasiswa sastra hari ini di tengah era disrupsi yang sekarang begitu masif. Saya tidak tau penyebabnya, apakah puisi yang diikutkan hanyalah puisi-puisi iseng, puisi-puisi yang lahir dari rasa keterpaksaan, puisi-puisi naif yang mengkhianati dirinya sendiri, atau bagaimana. yang pasti, hal ini menunjukkan betapa gawat dan krisisnya kekuatan puitik dalan puisi-puisi yang diikutkan lomba kali ini.

Pada akhirnya, lomba cipta puisi IMASIND 2020 yang memang dikhususkan untuk mahasiswa sastra Indonesia FIB UNEJ ini menjadi semacam paramater sederhana dari kualitas mahasiswa-mahasiswi sastra Indonesia dalam menulis puisi. Ada tanggung jawab besar di sana, yaitu keistiqomahan untuk menghidup-hidupi sastra, terutama sastra Indonesia. Kami dari panitia mohon maaf sebesar-besarnya jika ada kesalahan dalam kinerja keorganisasian dan proses pengkaryaan, kami sebagai panitia hanya bermaksud memberi wadah, urusan nilai kami serahkan sepenuhnya kepada dewan juri, tidak ada campur tangan sedikitpun dari pengurus dalam persoalan penilaian selain merekap nilai. Dan tak lupa kami ucapkan terimakasih tiada tara kepada seluruh pengurus yang telah membantu, baik bantuan tenaga ataupun pikiran. Terimakasih, mari saling jaga. Salam IMASIND!

Lamongan, 14 Mei 2020.
Atas nama Divisi Pendidikan dan Penalaran 2020
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Login