Menyatu dalam Kreativitas Luhur, Pameran Sastra Mempersembahkan Lima Penulis Terbaik yang Mengalirkan Pikiran-Pikiran Mereka untuk Menciptakan Karya Puisi yang Menginspirasi. Berikut Puisi-puisi terbaik yang bisa dibaca.
Masygul
Alya
Latifatul Fitriyah
“kemarin, Tuhan mengecup jidatku, katanya
rasanya asin, asin dari sisa-sisa keringat yang membuatku lupa padanya”
Masyugl itu istilah bagi pengendara mobil
yang lupa arah jalan rumahnya. Pula para pengemis, peminta,
penjilat; harta, warta, cita-cita, bahkan pernak-pernik semesta
kepada pemilik nafkah yang telah mengantongi segudang bekal, untuk para musafir
yang akhir-akhir ini sedang positif kikir. Berpikir, akankah mereka sedang
terjangkit virus fakir, sehingga berlomba-lomba untuk memenangkan
pagelaran takdir? Sutradara yang menjelma pimpinan produksi hingga persoalan
konsumsi menggeleng-gelengkan kepalanya. Bersirkulasi bahwa;
kuasa bukan dari
Tuhan-ku, tapi dari
uang-ku yang aku
kumpulkan untuk
membangun pagelaran sunyi
di tengah-tengah riuh musim politisi
yang sedang asyik memanen padi dan puisi
lalu dituangkannya kedalam cangkir yang berisi
janji-janji basi.
Ditelan
Omongan Orang
Milcha
Izzatun Nisa
dua tiga kata ditemukan indah,
sembilan sepuluh kata jauh kehilangan makna
pada bagian rumpang yang tidak
selesai tersusun, menjadi tulisan yang tidak pernah terselesaikan
siapa seorang seniman?
apa penulis yang belum sekalipun
menerbitkan buku
atau seorang pelukis yang tidak
pernah tampil di galeri pameran
atau pemusik yang mengaku-ngaku
musisi padahal tidak pernah menciptakan lagu
aku seorang seniman, mereka seorang
seniman, semua orang bisa menjadi seniman.
tapi karyanya tenggelam ditengah dan
ditelan omongan orang
berakhir pada dinding penjara jiwa
berisik, berisik
aku ingin bebas
aku ingin lepas
seniman harus merdeka
mereka buta harga dan kikir bicara
bukan aku yang gila
tapi yang waras juga mulai gila
Berakhir di Rumah Sakit Jiwa Belaka
Hilmi Lukman Baskoro
Puisi ini ditulis dengan sangat sia-sia
Bagaimanapun nantinya barangkali ia bagus dengan rima
baik dengan bunyi ataupun gagah dengan majas, puisi dan penulisnya akan
berakhir di rumah sakit jiwa belaka
Dirawat di bawah pengawasan ketat Dokter dan Mantri
Mungkin pembaca akan mendapati permulaan yang mantap,
sampai-sampai berpikir penulisnya sungguh telah menerima ilham berpikir
penulisnya sangat memperhatikan tekanan berpikir dia sudah seperti
penulis iklan saja,
yang senantiasa memikirkan bagaimana sebuah sajak dapat menarik pembaca
bahkan sejak kata pertama atau bahkan sejak judulnya
Fakta di balik puisi ini, saat penulisnya belum sempat menggubah kata pertamanya,
dia telah membayangkan seseorang membacakan puisinya di depan ribuan masyarakat
sastra membayangkan mereka menyukai puisinya membayangkan mereka menulis pujian
di surat kabar arus utama membayangkan sekelompok penggemar mencalonkannya
untuk penghargaan bergengsi
Tetapi, sebagaimana kalimat pertamanya, puisi ini ditulis dengan sangat
sia-sia Karena ternyata meskipun penulisnya sangat paham aturan-aturan
menulis puisi keren: mulai dari awal dia memikirkan ide puisi sampai dia
menulis dalam baris-baris kalimat yang menggoda seperti iklan, dia telah
melupakan bagaimana proses itu sepatutnya dilaksanakan sampai puisi ini
tercipta dengan amat tak bermakna
Maka, puisi ini hanya sebatas bukti pendukung untuk diagnosa di rumah
sakit jiwa Sementara penulisnya terus-terusan diawasi Dokter dan Mantri supaya
tidur tidak lebih dari pukul dua puluh dua
Nabi
itu Bernama Ciner
Akmal
Rahman Hanif
Masih ingatkah kau, pada barisan
mimpi
Yang merayapi dinding rumah sakit
ini?
Lantas kau berkata, “Tiada alasan
bagiku
Untuk melupakan apa yang sudah
berlalu.”
Padahal, tengah malam kemarin, kau
terjaga
Lekuk pipimu begitu basah dan
berkerut
Kau berlalu-lalang di koridor, lalu
terduduk
Katamu, “Kaupikir, kau sudah
terbangun.
Padahal, kaukunyah obat tidur itu,
dan
Berharap orang lain tertidur
karenanya.”
Emak, jika namamu adalah Maryam,
Jika engkau serupa bulir-bulir air
mata
Dari pipi lebamku, pasti sudah
kukantungi
Kubawa pulang ke rembulan yang pucat
pasi
Di sana, mungkin ada nabi bernama
Ciner
Juru selamat semua anak, segala
profesi
Tapi, di bumi tidak bisa seperti
itu, bukan?
Kata mereka, “Jadilah dirimu
sendiri.”
Lantas, kau tertawa, “Mereka
bernafsi-nafsi,
Dibutakan oleh topeng, diterungku ambisi.”
Mengunjungi
Mimpi Seseorang
Khotibul
Umam
Kamar-kamar mengapung
Di kota yang tenggelam
Nama-nama bagaikan luka,
Jalan-jalan tanpa nama,
Kamar-kamar tanpa jendela
Menatap kamar lain
Dengan dinding tanpa warna
Yang sama.
Kutinggalkan diriky, kucari diriku
Dinding-dinding memisahkan
Satu orang dengan orang lain
Memisahkan wajah dari dirinya
Dinding-dinding tak terlihat.
Seseorang menemukan wajahku
Dan mengenakannya.
Dan tak ada apa-apa
Pada akhirnya, hanya rumah sakit.
Jiwa jadi jam-jam kosong.
Menit jadi penjara dan waktu
Jadi tembuga.
Tak ada sihir, juga peri gigi
Dari balik ranjang.
Hanya dingin dan amis
Di atas ubin.
Nama-nama melaju dalam biru
Saat dua orang berciuman
Hasrat jadi berdaging
Sementara dunia selalu menjadi yang
tak dikenal
Disana, du kejauhan.
Maka himpin aku dalam matamu
Sebuah kerat di cermin
Vertigo dan kosong
Horor dan muntahan.
Kamar-kamar mengapung
Di kota yang tenggelam