Latest Post

Pada Renjana yang Tersirat di Ujung Senyap

Senja perlahan meredup ketika Kirana duduk di tepi jendela kamarnya, mengamati kilau terakhir cahaya yang perlahan menghilang di ufuk barat. Senyum manis terukir di wajahnya dengan penuh rasa hangat, sore ini tenang, namun batinnya bergemuruh dengan perasaan baru—perasaan yang membuatnya tak lagi merasa sendiri.

Ruang yang selama ini terasa hampa, dingin, dan sunyi, seolah menyimpan segala kesendirian yang tak pernah ia bagi pada siapa pun. Kini, ruang itu perlahan penuh oleh kehangatan dan tawa, kehadiran yang membalut setiap sudutnya dengan warna baru. Perasaan ini mengalir lembut, menenangkan, menghadirkan arti dan harapan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Sebelumnya, Kirana tak pernah merasakan seperti ini. Hari-harinya selalu dikelilingi rasa sepi yang telah menjadi sahabat setia. Sejak umur 10 tahun Kirana tak pernah lagi berkumpul dengan kedua orang tuanya walau hanya menceritakan hari-harinya di ruang tengah, mereka selalu sibuk dengan pekerjaan. Hari-harinya adalah hari yang panjang dan tanpa suara, hanya ditemani oleh suara jarum jam yang berdetak lambat, seakan mengejek keterasingannya. Di balik senyumnya yang tipis dan kata-katanya yang ramah, Kirana hidup dalam kesendirian yang dingin.

Namun, semuanya berubah semenjak seseorang datang di hidupya. Pertemuan mereka tak ada yang istimewa, tak ada puisi atau dialog puitis di bawah langit berbintang. Mereka bertemu di lapangan kampus ketika sedang gladih bersih papermob untuk acara penyambutan mahasiswa baru. Kirana sedang sibuk memastikan posisi barisan ketika tanpa sengaja ia menyenggol bahu seorang laki-laki yang tengah memegang kertas panduan formasi. Terkejut, ia cepat-cepat menoleh dan mendapati lelaki itu menatapnya sambil tersenyum tipis.

“Maaf, nggak sengaja,” ucap Kirana dengan wajah sedikit panik, mencoba menghindari kesan canggung.

Laki-laki itu hanya tersenyum, mengangguk santai seolah tak ada yang perlu dimaafkan. “Tidak apa-apa, barisannya memang agak padat,” balasnya sambil mengulurkan tangan, “Aku Ryan, panggil aja Ian. sedari tadi aku perhatikan kamu hanya diam aja.”

“Eh iya, aku Kirana. Emm…aku belum terbiasa dengan keadaan ramai seperti ini dan aku terpisah dari temen-temen.”

Sejak pertemuan sederhana itu, Kirana tak pernah menyangka bahwa laki-laki yang awalnya hanya dikenal sebagai rekan gladi papermob ini, perlahan mengisi hari-harinya dengan percakapan dan tawa yang hangat. Awalnya, pertemuan mereka hanya sebatas obrolan ringan tentang susunan formasi dan persiapan acara. Namun, Kirana dan Ian sering bertemu di kampus, ada saja alasan bagi Ian untuk tetap tinggal dan melanjutkan percakapan mereka ke hal-hal yang lebih dalam. Mereka mulai membicarakan banyak hal—tentang mata kuliah yang berat, mimpi-mimpi yang pernah mereka kejar, dan masa kecil yang penuh kenangan.

Kirana merasa nyaman dengan kehadiran Ian. Lelaki itu punya cara untuk membuat segalanya terasa mudah, tanpa harus berusaha keras. Senyumnya, sikap tenangnya, dan perhatian yang selalu ia berikan membuat Kirana yang semula cenderung pendiam, perlahan-lahan membuka dirinya.

Suatu sore, setelah perkuliahan selesai dan matahari hampir tenggelam, Ian mengajak Kirana duduk di bangku taman kampus. Angin sore yang sejuk dan cahaya oranye yang menyelimuti kampus menambah hangat suasana di antara mereka.

“Kirana, Aku nggak tahu bagaimana cara yang tepat mengungkapkan ini,” kata Ian, suaranya sedikit bergetar, “Tapi aku ingin kamu tahu, sejak pertama kali kita bertemu di lapangan itu, aku merasa hidupku jadi lebih bermakna. Kamu membawa rasa hangat yang… entah bagaimana, nggak pernah aku rasakan sebelumnya.”

Kirana menunduk daan terdiam, seolah waktu berhenti sejenak. Setiap kata yang Ian ucapkan seakan mengisi celah di hatinya yang selama ini tak ia sadari kosong. Kirana merasakan rona hangat di pipinya, ia sendiri sebenarnya merasakan hal yang sama. Ada perasaan berbeda yang muncul setiap kali mereka bersama—perasaan tenang dan bahagia, seolah ia tak lagi sendiri dalam menjalani semua ini.

Dengan suara lembut, Kirana menjawab, “Ian, aku juga merasa beruntung bisa bertemu kamu. Hari-hari ini… kamu mengisinya dengan cara yang nggak bisa aku jelaskan. Aku juga merasa tenang, nggak lagi merasa sendiri.”

Ian tersenyum lebar, seolah dunia yang ia harapkan telah ia temukan di hadapan matanya. Dalam hening sore yang perlahan diselimuti malam, mereka saling menatap, dan tanpa kata-kata, mereka tahu bahwa perasaan yang sama telah menyatukan mereka.

Senja berlalu, malam menyapa, dan di bawah langit yang penuh bintang, Kirana merasa hidupnya kini utuh. Ia tak lagi sendirian, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasa beruntung, teramat beruntung, atas kehadiran seorang yang mengisi ruang di hatinya dengan cinta yang tak berujung.

Shandrina Naurah Zahirah
Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2023

Subscribe
Notify of
guest
3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
uwiwuwiw
uwiwuwiw
11 days ago

🌻

Zil
Zil
11 days ago

Bagusss

iniaku
iniaku
11 days ago

kerennn polll

Login