Ketika pada akhirnya saya mencium dengan
lebih saksama aroma laut, saya sadar, diksi-diksi bahasa Using yang sedari tadi
saya dengar dari teman-teman saya, dan yang saya tuturkan sendiri, membawa
ingatan saya akan identitas. Satu malam di Pantai Boom Marina, Banyuwangi. Di
ujung dermaga bersama enam orang lainnya, menghadapi satu gelas masing-masing.
Saya orang Using, jika definisi
sesungguhnya dari itu adalah yang dilahirkan dari orangtua Using dan besar di
lingkungan Using. Walaupun kemudian semenjak SMP sampai tujuh tahun selanjutnya
saya bersekolah di lingkungan Madura. Jika saya merasa, secara rutinitas bahkan
kebiasaan, saya tidak terlalu Using, barangkali saya berhak menyebutnya wajar.
Sebagian orang-orang terdekat saya adalah orang Madura dan itu mempengaruhi
saya.
Tapi bagaimana jika saya merasa tidak
terlalu islamis, kurang religius, dan juga kurang nasionalis? Sedangkan saya
tidak pernah bergaul dengan dan di lingkungan non-muslim, kecuali saat
berkuliah ini. Tetapi saya merasakan “kekurangan” ini bahkan jauh sebelum itu
(Bagaimana dengan teman-teman sekuler saya? Mungkin mereka mempengaruhinya
saya. Tapi mari kita selesaikan tulisan ini dahulu). Dan sejauh ini, saya hanya
menghabiskan hidup di Indonesia. Intinya, saya tak pernah merasa sebegitu fanatik
terhadap satu identitas tertentu.
Maka saya melihat rak buku saya (Jangan
anggap saya paham dan ingat isi semua buku yang saya baca. Saya hanya melihat
yang pernah saya pahami. Entah saya masih mengingatnya atau tidak, itu perihal
lain, sebab dianggap sebagai pembaca banyak buku adalah tanggung jawab yang
berat), berharap menjumpai pusat kontrol atas yang saya rasa.
Saya menemukan beberapa Camus, satu
Llosa, dua-tiga Kundera, semua Norman Erikson Pasaribu, satu Eka Kurniawan,
satu Grass, dua Umberto Eco, Orwell, Mo Yan, Pamuk, Xingjian, Rulfo, Pram,
Sōseki, Kafka, dan beberapa nama lain. Dan dari sesak nama yang berjejer itu,
melesat satu kata, merobek kulit kepala saya, dan menembus pikiran: universalitas.
Seketika saya merasakan sakit di seluruh
bulatan kepala, badan saya limbung, dan di antara keseimbangan yang saya
pertahankan serta berkat bantuan gravitasi, di depan mata saya, menghampar dua
ruas jalan: setuju atau tidak akan gagasan universalitas.
Untuk meredam rasa sakit keraguan itu,
saya mencoba melihat dan mengurai dua kemungkinan penyebabnya. 1) Eka Kurniawan
pernah menulis sebuah makalah berjudul “Membayangkan Kembali (Kesusastraan)
Indonesia dan Dunia”. Dia mempresentasikannya di sebuah seminar oleh salah satu
penerbit di Yogyakarta. Juga menerbitkannya di blog pribadi, dan di media
cetak, kalau tak salah ingat. Kurang-lebih kata dia, “Apakah kita sudah menulis
sesuatu yang dirasakan semua orang di dunia?”
Penulis membutuhkan satu kekuatan dasar
dalam tulisannya agar pembaca mampu dan mau menerima. Jika penulis-pembaca
sesama Indonesia saja tidak saling menerima karena kealpaan satu kekuatan itu,
bagaimana dengan penulis-pembaca antarnegara, dengan budaya, kebiasaan, gagasan
atau bahkan gaya menulis yang berbeda? Maka terkadang, di situ lah letak
urgensi universalitas.
Universalitas adalah benang penghubung
antara penulis-pembaca antar “negara”.
Sastrawan harus menulis sesuatu yang
diinginkan pembaca. Dalam hal ini, salah satu jalannya adalah melalui satu
kekuatan itu, untuk dipahami dan diterima pembaca. Saya tidak bermaksud
mengkapitalisasi atau mengomersilkan karya sastra, menganggapnya sebagai hasil
produksi pemenuhan pasar, meskipun belakangan, motif keberadaan karya sastra
telah dipandang demikian. Tetapi begitulah sastra. Ia diterima sesuai selera.
Ia akan temukan pembacanya sendiri.
Lalu bagaimana universalitas di dalamnya
kemudian mempengaruhi pemikiran saya? Wellek dan Warren jauh lebih tahu
mengenai ini. Kendati mereka menyebut “dampak karya sastra kepada pembaca” di
bab psikologi dan sastra, di bab sosiologi dan sastra lah mereka mengurai lebih
terperinci. Bagaimanapun, akan ada dampak tertentu dari karya sastra terhadap
pembacanya. Namun, akan sangat sukar memang untuk menakarnya secara pasti.
Sifat karya sastra yang abstrak memberikan dampak yang juga cenderung abstrak.
Tak ada ukuran mutlak.
Tak begitu lama, saya mulai merasa
justru 2) banyaknya genre, kebudayaan, gaya menulis, dan gagasan dalam karya
sastra yang saya baca itulah yang membentuk universalitas sekaligus menghancurkan
segala fanatisme dalam diri saya. Sebagaimana kata Eka Kurniawan, pada akhirnya
kita akan menemukan suara kita sendiri. Suara jernih yang benar-benar
diproduksi oleh hati dan pikiran kita sendiri. Pembentukan suara itu tidak
mudah. Akan ada banyak suara yang bercampur, terakomodir, dan larut menjadi
satu sehingga membentuk suara baru, milik kita.
Saya sedikit merasakan berbagai suara
itu sahut menyahut di benak saya. Eka yang ingin menulis laksana “Abdullah
Harahap sekaligus Fyodor Dostoyevsky” diakomodir bersamaan dengan
antikolonialisme Orwellian. Belum lagi serangan fenomena kolonialisme Jepang
atas Cina-nya Mo Yan. Apa Pamuk yang membenturkan Eropa (Kristen) dan Asia (Islam)
dapat terlupakan?
Camus dan Kundera yang hampir segenerasi
di Eropa mengambil kursi masing-masing berhadap-hadapan di kepala saya. Saya
belum berhenti mengagumi cerpen-cerpen queer Norman Erikson Pasaribu. Dan
sejenak setelah bangun pagi, saya masih senantiasa membayangkan bentuk serangga
raksasa yang digambarkan Kafka sebagai Gregor Samsa.
Bangunan universalitas tidak disusun
atas satu bahan. Ada banyak bahan dari mereka yang saya simpan dalam benak
terbawah kesadaran saya. Mengutip judul cerpen Pramoedya, seperti “Gado-gado”
lah mereka menyatu. Mungkin tak semua orang dapat menerima kelezatan gado-gado.
Tapi setidaknya demikian lah berbagai macam bahan membentuk universalitas dalam
pikiran saya.
Tentu ada banyak hal yang memungkinkan
menjadi penyebab universalitas, baik yang luput atau sengaja tak saya sebut.
Saya mengambil aspek kesusastraan sebab ia salah satu suplai “oksigen” terkuat
dalam kehidupan saya, dan dari sederet aspek, kesusastraan lah yang paling saya
“mengerti”.
Terakhir, saya mengakui tak seharusnya
saya menarik benang merah. Tetapi begitulah sebuah tulisan ditulis. Ia akan
menyimpulkan untuk dirinya sendiri, secara pribadi, dengan cara paling intim
sekalipun. Perihal sifatnya yang mutlak atau spekulatif, tulisan serahkan
sepenuhnya kepada pembaca.
Oleh Hilmi Lukman Baskoro, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2020