Mencacau
Tak kunjung usai
Waktu berlalu dan sebagian melintas
Tepat di sore hari dengan kopi
Kita berbincang puisi, filsafat, dan mitos di samping teras
Dengan hangat
Sembari menguping percakapan
Dalam sekejap obrolan di pelosok Jawa berkata anak perempuan
Mengarah memang!
Manusia bernama aku yang seringkali dibuat ragu
Sedikit menepis perbincangan itu
Mungkinkah puisi, filsafat
dan sindiran berbalut patriarki masih bukan kapasitasnya?
Ya, semua mata tertuju, di sudut depan terhembus bisikan
“selamat berjuang, suksesmu akan datang”
Hitam di Kasur Merah
Mereka menyebut diriku kupu malam yang indah.
Pemuas dikala birahi yang menggejolak itu datang menghampiri tubuhnya.
Bayang bayang tawa dan senyumnya menghantui tidurku, membuatku merasa menjadi manusia yang sangat hina.
Lantas siapa yang bisa menjamin indahnya langit ketika keluar dari goa yang sangat gelap ini.
Tak ada yang berani menaruh pedang ditangan untuk menolongku berperang dengan kehidupan.
Sakit memang menjadi terhina dan bernoda, tapi apa aku bisa keluar dengan bahagia.
Tidurku selalu harus kubagi dengan laki-laki yang tak kukenal bahkan baru bertemu dua menit lalu
Namun kini aku harus menjadi kupu yang indah diatas kasur merah.
Seperti air dan minyak yang susah menyatu
Tapi aku harus melawan itu untuk bertahan dalam hidupku
Pagi aku menjadi mentari bagi masa depanku
Namun malam aku menjadi noda hitam untuk indahnya rembulan yang akan datang
Aku sudah berusaha keluar dari lobang yang terkutuk ini
Namun aku hidup di kota metropolitan yang penuh dengan kegemerlapan duniawi
Sungguh sia-sia melewatkan tawaran tertinggi
Karena tak ada jaminan aku hidup indah dimasa sekarang
Maka aku harus menjamin hidupku indah di masa mendatang.
Aku terus menyalahkan keadaan dan tuhan
slogan cobaan adalah tanda kasih sayang tuhan terus bertolakbelakang dengan pikiran
Apa maksud tuhan menjerumuskan hambanya melakukan apa yang Ia larang?
Lantas mana kasih sayang tuhan yang dijanjikan setelah sebuah penderitaan?
Tuhan aku ingin pulang
Aku ingin tidak terlahir jika garis ceritaku tak selaras dengan apa yang aku mau
Aku tau memang semuanya Engkau yang mengatur
Namun mengapa skenarioku Kau buat rancuh?
Apakah tidak sebaiknya Engkau ambil saja nyawaku?
Helai
Uraian rambut
Indah bagai menari bak nyiur di pantai
Terombang-ambing seperti halnya lautan
Kemolekanmu membawa tawa
Oh kasih idaman
Gelak tawamu meruntuhkan beban
Tak terkira bagaikan narkoba yang ketergantungan
Tawa manismu muncul saat helai rambutmu beralur
Pipi merah bak persik matang
Tawamu membawa tawa yang lain
Membuat hati bergejolak tak henti
Awal yang menggebu tapi diakhir rancu
Rancu akan kepastian
Deskripsi yang tak sesuai dengan fakta
Terhalang ego tinggi setinggi gunung himalaya
“Garis Waktu”
Arah hembusan nafas
Membuatnya melihat dunia
Sejenak lelah dilepas
Setelah lama dikandungnya
Manusia berdatangan
Menyambut kelahiran
Membawa buah tangan
Mengharap keridhaan
Riuh renyah suara saudara
Canda tawa menemani suka
Tiada lara dalam ceria
Kini belia menjadi muda
Membuatnya beranjak dewasa
Setelah dewasa kian meraja
Masa muda tak lagi ada
Kini yang ada hanyalah roda
Kehidupan tidak selamanya
Setelah semua usai
Hasil akan dituai
Ketika pintu kerajaan tertutup
Usailah segala permohonan
Yang terdengar hanya sayup
Tak dapat menjadi angan
Suka yang dulu mengembara
Masihkah ada jikalau masa tutup usia
Budaya
Menangkai kebusukan makam pahlawan.
Satu per satu kuziarahi makam makam yang tak bernisan.
Pada malam yang kesekian, belum juga dapat kutemukan.
Menangis diantara jasad para pelacur yang berserakan.
Selalu saja kutemukan bangkai busuk gadis perawan.
Sudah terlalu lama ku tinggalkan
Tak sadarkah engkau telah bercampur
Dengan segala kemunafikan malam.
Tubuhmu suci, pintu hatimu tertutup.
Dadamu penuh sesak riya’k
Semoga kau digolokan pada gologan orang orang yang mempertahankan tanah jajahan.