Sore itu kehidupan berjalan dengan cepat, Bulan pulang sekolah dan membawa tasnya diatas kepala berharap rintik hujan itu tak akan membasahi tubuhnya. Di sebuah taman tersembunyi yang jaraknya tak jauh dari sekolah, berdiri gazebo tua yang mungkin telah menjadi saksi bisu dari berbagai cerita dan rahasia yang terjadi di sana. Bulan melangkahkan kakinya menuju gazebo tersebut, tempat rahasia yang menjadi favoritnya selama setahun ini. Dan di bawah bayangan gazebo itu, Bulan menyukai aroma tanah yang mulai basah serta bunga-bunga yang tumbuh bermekaran disana, ia duduk di bawah gazebo itu dan tenggelam dalam lamunan. Bulan seperti namanya, dia adalah cahaya yang menemani malam gelap dengan sinarnya yang lembut. Matanya berkilau seperti mutiara yang terpendam di dasar lautan, menyimpan keindahan yang tak terlukiskan. Rambutnya yang panjang bergelombang, selalu bergerak menari setiap kali angin menyapanya.
Saat Bulan tenggelam dalam lamunan yang dalam, suara langkah kaki yang halus terdengar di seberang jalan. Seorang pemuda dengan tubuh jangkung dan aura kehangatannya melintas, membuat lamunan Bulan sirna dan menoleh ke arah pemuda itu dengan rasa ingin tahu, “Bagaimana dia tahu tempat ini?” suara hati Bulan dan masih menatap mata pemuda itu. Sebuah mata dengan tatapannya yang jernih seperti air sungai yang mengalir, dan senyumnya seperti sinar mentari yang menyinari langit yang mendung. “Hai,” sapanya dengan suara yang lembut dan penuh kehangatan. “Apa yang membawamu ke sini di bawah hujan turun yang kian deras?” pemuda itu lantas duduk di samping Bulan tanpa permisi.
Bulan tersenyum kecil, senyumnya seperti cahaya yang menerangi kegelapan dan seketika timbul cahaya kagum dari mata pemuda itu. “Siapa namamu?” tanya Bulan tanpa menjawab pertanyaan si pemuda, tangan rampingnya mengambil saputangan di dalam tas dan memberikannya kepada si pemuda. “Namaku Hujan, kalau namamu?” jawab si pemuda bernama Hujan sambil menerima saputangan pemberian Bulan, kemudian menaruhnya diatas kepala yang baru ia sadari bahwa rambutnya sedikit basah. Bulan tertawa kecil, “Namaku Bulan, dan mengenai pertanyaanmu tadi, karena aku suka hujan, aku merasa lebih dekat dengan diriku sendiri di sini, suara rintik hujan di atas atap tua ini selalu membuatku merasa tenang.” Hujan mengerjapkan matanya, pemuda itu sedikit terkejut dengan kalimat ‘aku suka hujan’.
Bulan dan Hujan saling tertawa bersama, keduanya lantas saling mengobrol dan memperkenalkan diri. Sejak saat itu mereka sering menghabiskan waktu bersama di gazebo tua itu, di mana rintik hujan lembut menari-nari di atas atapnya yang berlapis lumut. Di sanalah mereka berdua berbagi cerita dan mimpi mereka, di tengah aroma tanah basah dan udara segar setelah hujan. Bersama-sama, mereka menciptakan dunia yang indah di tengah hujan yang mengalun di luar, meresapi keajaiban alam dan kedekatan satu sama lain di bawah langit yang dipenuhi awan mendung.
Hubungan mereka kian berlanjut selama tiga bulan, pada suatu malam festival perpisahan kelas 12 di sekolah, Bulan menyumbangkan suara emasnya dengan lantunan suara yang merdu dan memukau semua penonton, sedangkan Hujan menyumbangkan bakatnya dengan bermain gitar. Pasangan yang serasi dan didukung penuh seluruh murid di sekolah, Hujan dan Bulan selesai unjuk bakat dan mengucapkan terima kasih, tak lupa mereka mengucapkan salam perpisahan untuk kakak kelas yang lulus dan melanjutkan perjalanan mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
“Keren, suara kamu merdu seperti biasa.” Puji Hujan yang menimbulkan senyum manis Bulan layaknya cahaya yang menerangi kegelapan pada malam ini. “Kamu juga keren.” Keduanya lantas tertawa kecil dan segera menuju belakang panggung. Hujan dengan sigap membantu langkah kecil Bulan di tengah cahaya minim menuju belakang panggung, sangat berhati-hati seakan takut Bulan hancur jika Hujan tidak memegang tangannya. Keduanya sampai di tempat namun Hujan tiba-tiba menghentikan langkahnya begitupun dengan Bulan. Tubuh jangkung Hujan mematung sembari menatap sosok gadis di hadapannya, sedangkan Bulan berdiri dengan penuh tanda tanya di kepalanya. Sosok gadis yang mereka lihat itu secara tiba-tiba menangis dan menghantam Hujan dengan pelukan. “Aku merindukanmu.”
Saat itu juga tubuh Bulan serasa disiram air es, ia membeku saat tahu bahwa Hujan melepas genggaman tangan mereka dan membalas pelukan gadis tersebut. Segera tersadar, Bulan lantas berlari keluar tanpa tujuan. Air matanya mengalir saat ia sadar bahwa Hujan tidak mengejarnya ataupun memanggil namanya, ia berlari dari seseorang yang tak berniat mengejarnya. Bulan menghentikan langkahnya kemudian menatap langit, cahaya bulan itu menjadi saksi bisu atas pertemuan tak terduga antara Hujan dan seorang gadis lain yang dapat Bulan simpulkan bahwa gadis itu adalah Rintik, mantan kekasih Hujan.
Gelombang perasaan Bulan bergelora di lautan hatinya, seketika dunia Bulan menjadi sunyi, terhanyut dalam kehampaan yang mendalam. Langkahnya terasa berat, bagai melangkah dalam kegelapan jiwa. Kedua matanya tidak dapat menyembunyikan kepedihan yang merayapi hatinya, dan secara dalam ia merasakan luka yang meradang di relung terdalam jiwa. Dan di balik tirai gelap kesedihan, Bulan meratapi kehilangan yang tak terucapkan, langkahnya terus bergerak maju di atas jalan yang penuh duri dan puing-puing harapan yang hancur. Sementara Hujan, melangkah lebih jauh menjauh darinya, menuju dunia yang lebih cerah namun membuat Bulan tenggelam dalam kegelapan yang tak berujung.
Hari esoknya, Bulan harus menghadapi kenyataan bahwa Hujan membuangnya, pemuda itu benar-benar kembali dengan Rintik, masa lalunya. Tatapan Bulan yang biasanya bersinar kini terasa redup, dan senyumnya yang dulu cerah kini sirna tergantikan oleh ekspresi pahit dan pilu. Ia berusaha menutupi kelemahan di balik kedok ketegaran, namun di dalam lubuk hatinya, ia merasakan perih yang membakar tiap detiknya. Rasa sakit itu seperti racun yang mengalir melalui setiap pembuluh darahnya, memenuhi setiap serat hatinya dengan kepedihan yang tak terhingga.
Namun seiring berjalannya waktu, Bulan berhasil menyembuhkan lukanya seorang diri, meskipun belum sembuh total tapi ia berhasil, tanpa bantuan orang baru. Bulan tidak membenci Hujan, namun jika mereka tidak sengaja berpapasan maka Bulan memilih untuk membuang muka, ia takut. Bulan takut jika mata mereka saling beradu, maka Bulan akan menangis, karena ia tidak sekuat itu. Jadi terus menghindar dan menjaga jarak adalah keputusan yang paling tepat. Bulan juga tidak membenci Rintik, ia tidak akan menyalahkan perlakuan gadis itu karena Bulan memilih untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Bahwa semua hal yang menyakitkan itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri, Bulan lebih memilih menyalahkan diri sendiri.
Bulan masih sama, gadis itu tidak membenci gazebo tua yang menjadi awal pertemuannya dengan Hujan, karena menurutnya, ia lebih awal mengenal gazebo tua itu daripada Hujan. Bulan menyukai rintik hujan yang turun di atas atap gazebo tua itu, duduk dengan bersenandung kecil, menghirup aroma tanah yang basah dan aroma bunga yang bermekaran. Lagi, terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah Bulan berada. Layaknya déjà vu, Bulan menoleh dan menatap seorang pemuda yang kini sedang mengibaskan rambutnya yang basah. “Hai Bulan,” sapa pemuda itu dengan tersenyum manis, sangat manis sehingga Bulan merasa pemuda di depannya bukanlah seorang manusia.
Kedua manusia itu saling berpandangan, mata yang bertemu seperti dua magnet yang tak bisa dipisahkan, sebuah pandangan yang serupa kilatan petir, seperti kilauan tak terduga yang menyambar hati, pandangan yang memenuhi ruang antara dua jiwa dengan kehangatan yang tak terlukiskan,
“Siapa?” Bulan bertanya karena ia tidak mengenal pemuda berwajah manis tersebut. Pemuda itu tertawa kecil menampilkan gigi gingsulnya yang manis, kemudian menjulurkan tangannya hendak berjabat tangan. “Hai Bulan, aku Bintang”