Masih
ingat betul momen ketika salah satu pertanyaan terlempar dalam lingkaran
diskusi rutin Teater SaKSI beberapa tahun lalu ketika saya masih di bangku
sekolah: “apa perbedaan sastra murni dan sastra pop?” Sekalipun banyak komentar
malam itu perihal pertanyaan “aneh” tersebut, menurut saya tidak ada satupun
jawaban yang setidaknya membuat pikiran saya berkata ‘bisa jadi’. Komentar
orang-orang malam itu yang masih terngiang di bayangan bawah sadar saya adalah,
“sastra murni itu seperti karya-karya Pram, Ahmad Tohari, Ayu Utami, dan
sebagainya. Sedangkan sastra pop adalah seperti karya-karya Tere Liye, juga
tulisan-tulisan sastra yang lagi trend
di majalah santri putri waktu itu (katanya, karena rata-rata alur ceritanya
sama, hanya beda penamaan tokoh saja)”. Opini yang terlalu ‘aneh’, tapi
setidaknya itu jawaban terakhir yang saya dapatkan hingga semester akhir di
Jurusan Sastra Indonesia.
Tulisan
ini akan mencoba menawarkan sebuah spekulasi pribadi saya perihal perbedaan
antara sastra murni dan sastra pop. Tentu ini hanyalah spekulasi, bukan hasil
riset apalagi hasil kesepakatan. Namun, hal ini menurut saya sedikit
menggelitik untuk dituliskan, lebih lanjut didiskusikan, dan atau dilupakan. Tulisan
ini akan mengigau tentang masalah: Apa itu sastra? Apa itu sastra murni dan
sastra pop? Mengapa harus ada kategori semacam itu?
Jawaban
terkait apa itu sastra sejak dahulu hingga sekarang masih menjadi perdebatan.
Makna kata sastra terus berkembang, bergeser, atau berubah dari masa ke masa.
Banyak tokoh sastra, baik sastrawan atau akademisi/kritikus sastra,
mendefinisikan istilah sastra. Terkait gradasi perkembangan istilah tersebut
tidak dibahas dalam tulisan ini. Namun, saat ini saya memahami sastra sebagai
medium sebagaimana medium-medium lain yang terlingkup dalam ruang seni.
Material yang digunakan sastra tentu adalah bahasa. Bahasa yang diolah
sedemikian rupa sehingga menimbulkan impresi artistik dan gaya ungkap
non-normatif digunakan sastra sebagai medium dalam mengkomunikasikan gagasan
(ide, pengalaman, dsb.). Pengolahan bahasa secara eksploratif tersebut tidak
hanya selesai pada orientasi artistik, tetapi juga agar bisa memproyeksikan dan
mengkomunikasikan gagasan yang “tidak bisa” disampaikan secara “normatif”.
Berdasarkan
hal itu, kategori “murni” yang saat ini saya pahami pada karya sastra adalah
apabila karya tersebut menawarkan “cara pandang baru” dalam melihat realitas
(ide/fakta) sebagai sebuah alternatif untuk keluar dari cara pandang mainstream. Sependek yang saya ketahui,
misalnya, beberapa karya-karya Pram yang mengkritik feodalisme Jawa dan
imperialism kolonial di Nusantara, karya A. Tohari yang mengambil sudut pandang
DI/TII dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air dan hiruk pikuk politik merah
dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, karya-karya Hanrik Ibsen yang
menginspirasi cara pandang realisme, karya-karya Camus yang menginspirasi cara
pandang absurditas, karya-karya Sartre yang menginspirasi cara pandang
eksistensialisme, dan sebagainya. Oleh
sebab itu, karya sastra ‘murni’ tidak hanya dipahami sebagai mimesis atau
representasi realitas sosial, namun ada berbagai cara pandang baru dalam
melihat realitas yang coba ditawarkan oleh para sastrawan.
Sastra
pop saya pamahi bukan sekadar karya-karya yang tunduk secara penuh pada selera
pasar dengan kepentingan komodifikasi. Namun, juga adalah karya yang hanya
berpijak pada imajinasi subjektif atas dasar intuitif pengarangnya tanpa latar
belakang riset, tanpa eksplorasi panjang, juga tanpa cara pandang baru yang
ditawarkan pada publik. Karya seperti ini hanya bermain-main di wilayah
imajinasi ‘terlampau’ subjektif, sehingga tidak ada kebaruan, keunikan, dan
nilai pengetahuan di wilayah gagasan. Apalagi, karya-karya yang memang hanya
berorientasi pada “jualan” tentu sudah terang benderang.
Mengapa
perlu ada kategori-kategori semacam itu? Hal ini menurut saya juga penting
untuk kebutuhan refrensi pengetahuan dan keberlanjutan perkembagan sastra
terlepas dari persoalan selera konsumtif. Tidak ada salah dan tidak ada benar
dalam persoalan ini. Seperti apapun karya sastra tetap memiliki penikmatnya
masing-masing. Pengkategorian ini hanya sebagai penegasan, mana saja karya yang
berorientasi hanya sebagai hiburan dan mana saja karya yang berorientasi pada
pengetahuan, kritik sosial, serta simulasi dari gagasan-gagasan aktual.
*mahasiswa linguistik yang nyaris