Oleh maraknya klaim-klaim dan justfikasi syurgawi hari ini, maka tidak jarang ‘orang ramai’ (saya meminjam istilah Afrizal Malna) acapkali membenturkan syariat yang kelewat didogmatisasi dengan wacana universal yang – padahal – amat relevan dengan aktivitas keberagamaan sekarang. Oleh sebab itu, sebelum menulis ini saya siap dengan segala nyinyiran berbau sara, contoh “Mosok orang islam mencari suri tauladan perihal kepemimpinan pada agama lain, malu dong. Kan kita toh juga punya seorang pemimpin revolusioner yang sampai-sampai salah seorang penulis Inggris mencantumkan namanya dalam bukunya sebagai orang paling berpengaruh nomor satu di dunia. Kenapa tidak itu saja?” Tidak mengapa, dengan semakin banyaknya orang-orang begituan, paling tidak proses dialektis paling sederhana dapat berjalan, meski tanpa antitesis apalagi sistesis anjuran Hegel.
Sebelum ngomongin film, perlu dimaklumi bahwa saya tidak akan berceramah panjang lebar menjelaskan kapan film ini tayang perdana, siapa sutradaranya, berapa durasinya, diproduseri siapa, skenarionya garapan siapa, siapa yang jadi sinematografinya, apalagi ngomongin pendapatan kotor film dihitung sejak pertama kali disiarkan secara digital oleh perusahaan media strimming kenamaan Netflix. Selain tidak tertarik, jujur saya agak asing dengan nama-nama itu. Tetapi saya akan coba mengambil beberapa fragmen film dan akan berusaha mengambil hal dari apa yang perlu diambil. Doakan saja ada nilai korelasi, kalau tidak maka saya akan dikatai penulis iseng yang hanya ngandalin ilmu cocokologi. Jujur, lebih sakit daripada mendengar isu buku pdf gratis yang sekarang sedang agak ramai diperdebatkan dengan berbagai sudut pandang.
Meskipun dalam urusan film saya tidak begitu kawakan, tetapi mungkin, biar ada gambaran sederhana tentang film ini, saya akan spoiler dikit. Dengan mengadaptasi kisah nyata dari peristiwa kontemporer Vatikan, The Two Popes mengisahkan perjalanan kisah dua orang Paus. Yakni, antara kardinal Jerman Joseph Ratzinger dan kardinal Argentina Jorge Bergoglio. Kisah dibuka ketika Paus Yohanes II meninggal pada tahun 2005, maka seluruh kardinal dari segala penjuru dunia dipanggil ke Vatikan untuk mengikuti konklaf (proses pememilihan Paus baru). Dari proses konklaf, maka terpililah nama Josep Ratzinger sebagai pemimpin agama Katolik yang baru dengan sebutan Paus Benediktus XVI. Memasuki tahun 2010, terjadi skandal besar yang membuat gereja Vatikan mengalami krisis kepercayaan dari para umatnya di berbagai dunia. Hal ini juga mengantarkan posisi Paus Benekditus dalam posisi yang buruk. Permasalahan semakin pelik ketika Jorge Bergoglio yang juga sebagai rival Paus Benekditus dalam konklaf ketika itu mengkritik begitu tajam kebijakan gereja Vatikan dan menganggap Paus Benekditus gagal dalam membawa Vatikan dalam merespon perkembangan zaman. Tidak hanya itu, kardinal Bergoglio juga mencoba beberapa kali mengirim surat pensiun sebagai kardinal Argentina kepada Paus Benekditus. Tidak berhenti di situ, sebab surat-surat pengunduran diri Bergoglio tidak pernah mendapat balasan dari Paus Benekditus, maka ia memutuskan untuk langsung menemuinya ke kediaman musim panas Paus.
Bagi saya, bagian film yang paling krusial dimulai dari babak ini, ketika mereka berdua bertemu di sebuah taman dan melakukan dialog-dialog panjang yang menurut saya sangat cerdas, lucu sekaligus satire. Mereka saling menyerang dan mempertahankan argumennya masing-masing mengenai bagaimana selayaknya gereja Vatikan disikapi. Disamping memang mereka berdua memiliki cara berfikir yang bersebarangan, Paus Benekditus cenderung memiliki pemikiran yang konservatif untuk tidak mengatakannya sebagai ortodoks. Sedangkan kardinal Bergoglio memiliki cara pandang yang visioner dan moderat untuk tidak mengatakannya sebagai liberal. Setelah mengalami perdebatan panjang, tibalah di momen paling mengharukan. Paus Benekditus merasa sudah tidak mampu lagi dalam memimpin umat katholik di seluruh dunia memalui Vatikan dan memilih menyerakan kepausannya pada kardinal Borgeglio. Alih-alih langsung menerima dengan senang, kardinal Bergoglio menceritakan masa lalunya yang membuanya sulit untuk menerima penobatan sebagai Paus. Tetapi, Paus Benekditus semakin percaya bahwa Bergoglio adalah sosok pemimpin yang sesungguhnya, mungkin ada yang pernah dengar nasihat, bunyinya kurang lebih begini “pemimpin sejati adalah seseorang yang tidak menunjukkan dirinya agar diyakini sebagai pemimpin.” Paus Benekditus tetap membujuk dan mendesak Bergoglio agar menggantikan posisinya sebagai Paus Roma. Akhirnya, Bergeglio menerimanya dengan pasra. Ada satu dialog yang menurut saya sangat heroik namun begitu menyentuh, ketika Paus Benekditus berkata pada kardinal Bergoglio “Akhirnya kau membantuku dalam mengangkat beban di pundakku.”, Bergoglio menjawab, “Dan mulai sekarang, kau memindahkan beban itu pada pundakku.”
Sosok dua pemimpin yang sepatutnya kita ambil pelajaran. Mereka siap menjadi martir untuk kemajuan dan perkembangan dalam proses kepemimpinannya. Jika saya mencoba untuk mengkorelasikannya dengan sepak terjang kepemimpinan negara kita, mungkin hal seperti agak terdengar ganjil bahkan mustahil. Banyak orang-orang menginkan untuk menjadi pemimpin, termasuk melakukan apa saja agar mendapatkan kekuasaan. Saya teringat ketika membaca buku Menjerat Gus Dur, saat mahasiswa mulai menduduki gedung DPR dan menuntut Soeharto agar mundur dari jabatan presiden yang berdampak pada draft yang dikeluarkan oleh pimpinan DPR dan MPR berisi “Demi persatuan dan kesatuan negara bangsa, agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri.” Hal yang berbanding terbalik dengan mental pemimpin yang ditunjukkan dalam The Two Popes.
Soeharto mundur bukan karena dia sadar bahwa kebijakan-kebijakannya acapkali melahirkan problematika, tetapi dia harus dipaksa agar rela meninggalkan tampuk kekuasannya. Kebijaksanaan perihal kepemimpinan pernah dicoba Gus Dur, ketika dia dipermasalahkan dengan kasus Buloggate dan Bruneigate. Dengan beberapa kali percobaan penyangkalan, tetapi Gus Dur tetap terus mendapat tekanan, bukan hanya di parlemen, tetapi juga di eksparlementer (tekanan massa). Maka dalam buku Menjerat Gus Dur sang penulis membuat kredo yang jujur namun sarkas, setelah Gus Dur berkuasa, politik kekuasaan hanya sekedar bagi-bagi kue. Politik tak lagi menyentuh substansi, yaitu sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan cara-cara demokratis.
Tak ada lagi keberanian untuk mendobrak “kelaziman” yang sebanarnya ‘keliru” dalam praktek demokrasi. Dan Gus Dur merupakan aktor sekaligus korban dari praktik politik yang sedemikian keliru tersebut.
Saya mendapat sebuah pelajaran yang begitu berharga setelah menonton The Two Popes, bagiku, film ini tidak berhenti dengan membicarakan agama ataupun permasalahan-permasalahan teologis. Jika direlevansikan dengan konteks sistem kepemimpinan Indonesia, dia hadir sebagai satire sosial terhadap mental pemimpin hari ini yang sudah biasa kita tonton tak lebih dari sebuah peristiwa komedi yang rapi dan sungguh protokoler.