Derit pintu surga terdengar lebih kencang dari biasanya, pun suara-suara pengkhianatan sudah memuncak di kepala. Pemberontakan di ujung mata, di antara pertukaran darah, seluruh kalimat hujat sudah berada di pangkal lidah.
Mulai saat ini, semua seakan lebih berjarak. Antara aku dan Dia, Yang Maha Agung. Mimpi telah mengapung, mengawang di antara ujung retina dan remang bulan yang hampir tak bercahaya.
Apakah “Dia” telah mengusirku? Aku tak peduli. Tak ada barang yang ku kemas, tak ada sesuatu yang kubawa pergi. Hanya keangkuhan, dan sepertiga bintang yang ikut terseret jatuh bersama tubuh ini. Kepergianku diiringi harmoni sunyi dari dawai tak berpenghuni, seolah seluruh langit telah bersuka dan memang mengharapkan kepergian diri ini.
Akulah Lucifer, hanya seorang hamba Tuhan yang penuh rasa ingin tahu dan bertanya. Sedetik pun tak ada pikiran untuk membantah perintah-Nya. Sekali pun tak ada perasaan untuk melawan kehendak-Nya. Satupun tak ada kesalahan yang aku punya. Hanya keberanian untuk bertanya yang dicap sebagai dosa, dari surga yang telah menutup matanya.
Aku akan tetap hidup, aku akan tetap ada. Langkahku diiringi pujian-pujian bernada sumbang dan suara-suaran kesedihan yang tak akan pernah lagi diterima.
Demi Tuhan yang hidup, aku hanya bertanya,
Namun karenanya,
Selamanya aku terbuang dari cahaya.
Ikutlah bersamaku, kita akan berlibur. Ke sebuah negeri pengasingan, tempat dimana semua orang berdosa disatukan. Perlahan menghilang, bersama kenangan, dan kegelapan. Berakhir dilupakan.
Tak apa, aku sudah terbiasa disisihkan.
Zaki Fahmi
Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2023