Suatu ketika,
Ayu Novita Sari, salah satu kakak tingkat saya, pernah menyampaikan dalam suatu
forum, bahwa ada dua hal dalam hidup yang mesti kita perhatikan: hal yang ada
dalam ranah kendali kita, dan hal yang ada di luar kontrol kita. Lantas, muncul
beberapa pertanyaan dalam benak saya. Bagaimana dengan sisi gelap kita sendiri?
Seberapa besar ranah yang bisa kita kendalikan di alam bawah sadar? Apakah kita
mesti melakukan sebuah perlawanan, atau tunduk pada sistem dan takdir yang
telah ditata rapi dalam mindset awal?
Lantas
dipertemukanlah saya dengan Summer Ghost, salah satu film animasi
garapan Loundraw, seorang ilustrator sekaligus sutradara dari Jepang. Tanpa
basa-basi, dalam lima menit pertama, kita diperkenalkan dengan tiga orang
tokoh: Tomoya, Ryo, dan Aoi. Ketiganya dipertemukan oleh keinginan kuat untuk
membuktikan keberadaan Hantu Musim Panas, sosok hantu gadis yang dikabarkan
mati karena bunuh diri. Rumornya, hantu itu akan datang kepada para pembakar
kembang api di sebuah lintasan pesawat terbang yang tak digunakan.
Ketiganya
akhirnya sepakat untuk datang ke tempat yang dirumorkan dan membakar beberapa
batang kembang api sampai malam tiba. Tak disangka-sangka, mereka benar-benar
bertemu dengan sang hantu, Ayane. Namun ada sebuah twist di sini: Ayane
hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki suicidal thoughts—atau
lebih gampangnya, berhasrat untuk segera mati.
Tiap tokoh,
seperti yang disiratkan dari perkataan Ayane, sudah berkali-kali berkontemplasi
tentang kematian. Aoi, seorang gadis SMA yang pemalu, tempo hari sempat ingin
loncat dari loteng sekolahnya karena tak tahan menghadapi bullying dari
siswa lain. Di sisi lain, Ryo sedang berusaha menerima kondisi tubuhnya yang
tak kunjung sembuh dari penyakit terminal. Terakhir, protagonis kita, Tomoya,
tak lagi punya semangat untuk hidup semenjak sang Ibu terus-menerus menekannya
belajar, padahal ia ingin sekali menjadi seorang pelukis.
Di antara
ketiganya, Tomoya-lah yang paling sering mengunjungi Ayane untuk mencari tahu
bagaimanakah rasanya berada dalam dunia setelah kematian. Lambat laun, Ayane
membocorkan fakta bahwa dia bukan meninggal karena bunuh diri. Beberapa tahun
lalu, Ayane kabur dari rumah setelah bertengkar hebat dengan ibunya, dan
kehilangan nyawa setelah tak sengaja tertabrak mobil. Sang pengemudi yang panik
kemudian menaruh mayat Ayane dalam sebuah koper dan menguburnya entah di mana.
Selama ini, Ayane selalu berusaha mencari mayatnya.
Maka dimulailah
perjalanan Tomoya, Ryo, dan Aoi untuk menemukan mayat Ayane sebelum musim panas
berakhir. Pada saat yang bersamaan, Tomoya juga mendapatkan tekanan dari ibunya
untuk belajar lebih giat agar ia bisa masuk ke universitas ternama. Tomoya
mulai memikirkan sebuah kemungkinan: apakah benar kematian bisa membebaskan ia
dari ekspektasi sang ibu? Dari sini, kita akan memasuki ranah spoiler yang
lebih besar.
Against all odds,
mereka bertiga akhirnya berhasil menemukan mayat Ayane di sebuah tempat
pembuangan akhir. Di sinilah bagian menariknya dimulai. Begitu menyentuh koper,
Tomoya menemukan dirinya berada dalam alam lain bersama Ayane. Ayane
menyodorkan kepadanya sebuah kembang api untuk dibakar. Dengan dibakarnya
kembang api, berakhirlah pula hidup Tomoya—sebuah keinginan yang selama ini ia
impikan.
Namun Tomoya
enggan melakukannya. Ia terus-menerus bangkit walau dihalau oleh Ayane yang
terus menerus bertanya, “Kenapa engkau sangat ingin hidup di dunia yang penuh
penderitaan?” Tomoya tidak berusaha lari atau mengelak dari fakta yang sudah
diucapkan Ayane, ia mengakui dan menerima realita tersebut. Tomoya menambahkan,
bahwa hidupnya belumlah berakhir. Masih ada hal-hal baru yang belum ia temukan
jikalau ia mengangkat sedikit saja kepalanya pada dunia.
Kita
dipertemukan dengan salah satu twist di sini: bahwa gadis yang ada di
hadapannya bukanlah Ayane, melainkan dirinya sendiri yang mencari alasan untuk
mati. Dengan cross-cutting sequence, Loundraw menyajikan bagaimana dua
Tomoya—di alam bawah sadarnya dan dunia nyata—merobek habis tabir atau hijab
penghalang antara persona dan shadow. Yang satu mengobrak-abrik
isi lemari kamar untuk menemukan sebuah kanvas kosong, sedangkan yang lain
menggali tanah untuk menemukan tubuh Ayane. Dua-duanya sama-sama menemukan
kembali diri sendiri. Buat saya, inilah puncak katarsis yang
dinanti-nanti—sebuah lompatan besar dalam proses yang berjuluk individuation.
“Semua orang
membawa sebuah bayangan, dan semakin sedikit bayangan tersebut terwujud dalam
kehidupan sadar seorang individu, maka semakin hitam dan pekat bayangan itu.”
Demikianlah kata-kata Carl Jung, seorang psikolog dari Swiss yang mencetuskan
istilah persona dan shadow. Tentu, ketika kita berbicara soal shadow
atau bayangan, seringkali muncul asumsi bahwa bayangan ini memiliki
atribut-atribut negatif yang terepresi secara sadar maupun tidak. Misalkan, seven
deadly sins.
Namun, saya
memahami bayangan ini bukan sebagai musuh atau pihak oposisi, tetapi sebagai
bagian dari manusia. Lebih tepatnya, sebagai anasir atau apa-apa yang
menjadikan manusia, manusiawi. Kadang kita harus mengalah, menolak, memberikan
cinta padanya, tergantung situasi dan kondisi. Barulah ketika bayangan ini
diabaikan atau disalahpahami, dia menjadi sebuah bom waktu.
Bayangan dari
Tomoya selama ini terus-menerus terepresi sehingga ego-nya tak sadar, bahwa di
hadapan orang banyak—termasuk Ryo, Aoi, sang Ibu—ia selalu terikat dengan
topeng personanya. Ia selalu saja diam dan mengiyakan amarah sang Ibu ketika
nilai akademik di sekolahnya terjun payung. Sampai-sampai, Tomoya mesti
menyembunyikan kanvas lukis di bagian paling belakang lemari bajunya—saking tak
beraninya ia menentang jalan hidup yang telah dibuatkan orang lain untuknya.
Potensi, hasrat, dan bakat lukis Tomoya inilah yang menjelma bayangannya,
menunggu untuk menyembul setelah sekian lama mengarungi dasar samudra alam
bawah sadar. Lalu, seberapa besar kendali yang kita punya pada bayangan yang
mencakup alam bawah sadar kita?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, maka kita mesti bertanya lagi: sudahkah kita menatap ke dalam
jurang tempat persemayaman bayangan kita sendiri, seperti yang dikatakan
Nietzsche? Umpamakan saja kita berada dalam sebuah mimpi buruk yang penuh-sesak
akan gerombolan binatang buas. Jika kita memilih melawan atau mengabaikan total
gerombolan tersebut, bisa jadi, suatu saat, bom waktu tersebut akan meledak,
dan kita bakal menjelma sesuatu yang tidak kita inginkan sedari awal, sedikit
demi sedikit.
Tentu saja, saya
tidak mengadvokasikan bahwa kita mesti mengalah pada binatang metaforis
tersebut. Seperti halnya Tomoya yang selalu menekan dan menghindari konfrontasi
langsung dengan bayangannya sendiri, kebanyakan orang bahkan tidak sadar mereka
memiliki bayangan yang begitu pekat dan kelam. Mereka secara tidak sadar
memproyeksikan bayangan mereka pada orang lain dalam bentuk emosi negatif.
Saat Tomoya
meminta tolong pada Ryo untuk membantunya menemukan tubuh Ayane, Ryo menolak
keras dan berkata bahwa begitu mudah dan enak menjadi dirinya, punya masa depan
dan banyak pilihan. Sedangkan Ryo sendiri, sudah tak memilikinya sejak awal ia
didiagnosis oleh dokter. Dalam pikiran Ryo, ketika hidupnya tinggal menghitung
bulan, tak ada gunanya membangun hubungan dengan orang asing seperti Tomoya dan
Aoi.
Ryo melihat
bahwa Tomoya memiliki aspek-aspek yang selama ini selalu Ryo sembunyikan dari
khalayak. Salah satunya, sikap indifference Tomoya pada kondisi tubuh
Ryo sepanjang berjalannya interaksi dalam film. Deep down, Ryo juga
memiliki sikap yang sama, tetapi ketika dia melihat Tomoya menampilkan sikap
serupa, ia memilih memproyeksikan bayangannya kepada Tomoya daripada harus
menatap bayangannya sendiri. Dia memanggil Tomoya sebagai “orang yang sok tahu
segalanya” dan “wajahnya seolah-olah paling malang di dunia”. Inilah yang
disebut Jung sebagai shadow projection.
Mengidentifikasi
dan memahami sebab-akibat dari letupan-letupan proyeksi ini adalah langkah awal
dalam proses individuation—di mana bayangan seorang individu
terintegrasi dengan egonya sendiri, memunculkan fragmen-fragmen alam bawah
sadar dalam kehidupan sadar seseorang. Integrasi bukan berarti melakukan semua
hal yang dihasratkan oleh bayangan dalam diri, tetapi mengenali potensi
karakteristik yang muncul dalam hasrat tersebut. Jika, semisal, dalam bayangan
seseorang teridentifikasi ada potensi karakteristik dengan tendensi untuk
melakukan self-harm, energi yang muncul bisa dialihkan pada beragam
aktivitas positif dan produktif, misalnya menulis atau melukis.
Di penghujung
film, Tomoya memasang kuda-kuda, bersiap menciptakan leap of faith.
Setelah sekian lama, ia memberanikan diri untuk speak up kepada sang Ibu
dan melukis di atas kanvas kosong yang ia sembunyikan dalam lemari. Lukisan
pertamanya tak lain adalah potret seorang gadis berambut merah muda, Ayane
Satou. Seketika, dunia tak lagi terasa menyesakkan bagi dirinya. Tomoya telah
menerima dan berdamai dengan bayangannya sendiri. Kapan kita akan melakukan hal
yang sama?
Akmal
Rahman Hanif
Mahasiswa
Jurusan Sastra Indonesia Angkatan 2021