Latest Post

Wawancara Bagaimana Eka Kurniawan Menciptakan Cerita-ceritanya

 Wawancara: Bagaimana Eka Kurniawan Menciptakan Cerita-ceritanya

Oleh Hilmi Lukmani Baskoro

Eka Kurniawan dinilai sebagai penulis Indonesia paling sukses di pentas kesusastraan dunia setelah Pramoedya Ananta Toer. Dia terpilih sebagai salah satu Foreign Policy’s Global Thinkers 2015 karena berhasil membawa sastra Indonesia ke kancah kesusastraan dunia. Melalui novelnya, Man Tiger (Lelaki Harimau), dia menjadi sastrawan Indonesia pertama yang dinominasikan untuk memenangkan Man Booker International Prize 2016. Berikut wawancara singkat saya dengan Eka Kurniawan tentang pengalaman awal dia menciptakan cerita-ceritanya. 

Bagaimana pandangan Mas Eka tentang seni bercerita? 

Mungkin saya akan merujuk kepada kisah Syahrazad. Dia rela dinikahi seorang raja zalim bernama Syahrial demi mencegah korban lebih banyak karena sang raja selalu membunuh pengantinnya selepas melewati malam pertama. Agar dirinya tidak juga dibunuh, akhirnya Syahrazad pun bercerita. Setiap malam, dia menceritakan sederet kisah yang akan digantung saat fajar menjelang. Sang raja akhirnya tak pernah memenggal kepala sang putri, sebab cerita-cerita itu selalu membuat sang raja penasaran. Begitu pula besok paginya, besoknya, dan seterusnya. Sekarang kita menyebut dongeng tersebut sebagai Kisah Seribu Satu Malam.

Sesungguhnya penulis cerita adalah pewaris Syahrazad. Tugas utama penulis cerita adalah memastikan bahwa pembaca akan terus mengikuti dongeng dari awal hingga akhir atau kepala penulis itu dipenggal sebagai taruhannya.

Bagaimana awal mula Mas Eka menulis cerita?

Di awal karir saya, selama bertahun-tahun saya mencoba menjadi Syahrazad. Pertama, saya mencoba menulis puisi karena saya rasa puisi lebih pendek dan lebih gampang. Akan tetapi, kemudian saya sadar puisi tidak gampang. Saya beralih menulis cerita, cerita pendek. Waktu itu saya belum berani membayangkan akan menulis novel.

Ketika menulis cerita, apakah Mas Eka menemukan kesulitan?

Tentu saja, menulis cerita enggak gampang. Saya selalu bingung apa yang akan saya ceritakan. Pertama-tama saya membaca majalah dan meneliti apa yang orang-orang ceritakan. Setelah membaca banyak cerita, saya mulai membayangkan sesuatu yang bisa saya ceritakan. Saya pun menulis. Akan tetapi, setelah selesai ditulis, saya sadar, tulisan saya tak lebih dari sekadar ulangan dari satu atau dua cerita yang pernah saya baca. Memang tidak menjiplak, tetapi karena diambil dari tulisan orang lain, cerita itu jadi terasa basi.

Bagaimana Mas Eka mengatasinya?

Saya mulai berpikir tentang cerita yang orisinal. Istilah ini sebenarnya masih membingungkan. Mungkin lebih enak disebut pura-pura orisinal. Saya meninggalkan cerita-cerita di majalah, sebab saya takut nanti terpengaruh lagi.

Terus dari mana Mas Eka mendapat ide untuk cerita yang pura-pura orisinal?

Saya mencoba menjalankan nasihat-nasihat lama bahwa sumber cerita sejati adalah kehidupan ini sendiri.

Saya mulai sering-sering mengamati sekitar saya. Saya perhatikan ibu memasak, ayam jago berkokok di pagi hari, orang-orang pergi ke pasar. Intinya apa yang bisa saya lihat dan dengar, saya perhatikan.

Dari itu saya baru sadar ternyata ada banyak hal yang belum orang ceritakan. Mungkin ini karena bacaan saya yang sedikit. Karena waktu itu saya masih membaca majalah remaja, yang isinya hanya cerita-cerita tentang sekolah. Padahal, kita bisa menceritakan hal-hal lain, ‘kan? Bisa tentang ayah yang selalu pakai sarung, paman yang pergi menengok air di pagi buta, atau tukang reparasi arloji di ujung pasar.

Saya mulai memilih objek yang saya anggap unik dan orisinal. Saya bahagia karena menemukan objek cerita yang belum pernah saya lihat ditulis orang lain. Segera saya ambil kertas dan mesin tik–waktu itu laptop belum umum¬–dan mulai menulis.

Apakah dengan begitu masalah teratasi?

Masih belum. Begitu saya menulis, awal cerita memang mengalir, tetapi menjelang akhir halaman pertama, saya bingung, apalagi yang harus saya tulis. Saya berpikir lagi, tetapi ide tak muncul-muncul. Lelah berpikir, saya mulai meragukan kehebatan objek cerita saya. Lama-kelamaan mulai nampak jelek. Segera saya membuangnya. Saya beralih ke objek lain, yang saya anggap lebih unik dan orisinal, tetapi selalu macet. Setelah menceritakan beberapa bagian, saya selalu bingung, apalagi yang mesti saya ceritakan. Dalam kasus Syahrazad, seharusnya saya sudah dipenggal. (Mas Eka tertawa)

Setelah beberapa kali menyerah …

Mas Eka pernah menyerah juga

Tentu saja (sambil tertawa). Selanjutnya saya kembali ke cerita-cerita yang ditulis orang lain. Saya membacanya lagi, kali ini bukan untuk tahu apa yang mereka ceritakan, tetapi bagaimana cara mereka menceritakannya. Saya mulai meraba-raba dan mulai merasa menemukan resepnya.

Sesungguhnya semua cerita ternyata memiliki struktur seperti sandiwara tiga babak di sekolah. Pertama, mesti ada masalah. Kedua, dari masalah mesti muncul konflik. Ketiga, setelah konflik mestinya ada penyelesaian. Belakangan saya baru tahu rumus itu sudah klasik, sudah dipikirkan sejak zaman Aristoteles!

Setelah tahu resep itu, apakah keunikan dan orisinalitas tetap menjadi acuan Mas Eka?

Acuan saya mulai berubah. Saya tak lagi melihat objek cerita karena keunikan dan keorisinialannya. Saya mencoba melihatnya sebagai suatu masalah. Ayam jago berkokok di pagi hari, apa masalahnya? Senja berwarna jingga, apa masalahnya? Setelah mendapat beberapa masalah saya kembali menulis. Kali ini saya tak lagi mengalami writer’s block, sebab setelah membeberkan masalah, saya tahu harus segera masuk ke konflik. Jika  konfliknya sudah terpikirkan, tinggal mencari penyelesaiannya.

Dan Mas Eka puas dengan itu?

Setelah saya baca ulang cerita saya, saya sadar, cerita saya memang jalan, tetapi tetap tak menarik. Ceritanya mudah ditebak atau kadang-kadang membosankan. Saya bertanya-tanya, apanya yang salah? Padahal, saya sudah menulis berdasarkan resep yang benar, ‘kan? Putus asa, akhirnya saya membaca lagi cerita-cerita yang ditulis orang lain, yang menurut saya berhasil dan asyik. Saya mencari tahu kembali, apa yang membuat mereka menarik. Objek cerita mereka kadang sederhana, masalahnya juga kadang biasa saja, tetapi kenapa ceritanya bisa menarik dibaca. Pasti ada resep-resep lain, pikir saya.

Tampaknya Mas Eka memang pekerja keras.

Ya, begitulah. Kemudian, di luar semua itu, saya mulai sadar, beberapa cerita bahasanya memang bagus. Kalimat-kalimatnya jernih. Peristiwa-peristiwa yang ditulis sangat terpilih. Karakter-karakter tokohnya juga mengagetkan. Semua itu membuat saya longsor dan menyadari, betapa panjang jalan yang harus saya tempuh untuk menaklukan seni menulis. (Mas Eka tertawa lagi)

Namun, sepanjang saya membaca blog Mas Eka, Mas Eka sangat keras kepala. 

Saya juga heran, mengapa saya begitu bersemangat. (Mas Eka Lagi-lagi tertawa)

Baik. Lanjutkan, Mas.

Lalu, saya kembali mengamati sekitar. Melihat bagaimana ayah makan, sebab cara makan ayah berbeda dengan ibu. Cara bicara penjual di pasar berbeda dengan pak polisi. Saya belajar nama-nama binatang, nama-nama bunga. Saya belajar sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, fisika, kimia dan saya juga kembali ke karya-karya yang telah memperkenalkan saya dengan seni menulis. Saya belajar bagaimana Franz Kafka membuat kalimat pertama dalam novel-novelnya.

Tunggu, tentang Kafka, saya jadi ingat kalimat pembuka di The Metamorphosis.

Itu salah satunya. Saya belajar bagaimana Gabriel Garcia Marquez membangun struktur novelnya. Saya juga mencari tahu bagaimana Ernest Hemingway menyusun kalimat-kalimatnya. Saya kira begitu. 

Terakhir, apa pesan Mas Eka untuk para penulis muda?

Sepertinya ini agak serius (Mas Eka tertawa lagi). Mungkin ini, bagi para pewaris Syahrazad, mengetahui sebanyak-banyaknya hal dalam kehidupan ini sama pentingnya dengan terus membaca karya-karya terbaik yang telah dituliskan untuk kita.

Wawancara ini hanya wawancara imajiner. Tulisan aslinya adalah berupa esai. Anda bisa membacanya di blog pribadi Eka Kurniawan, di sini (https://coratcoretditoilet.wordpress.com/2005/03/19/dari-mana-datangnya-cerita-2/)

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Login