Latest Post

Call Center

Oleh Akmal Rahman Hanif

Lintang Punarbawa membanting pintu kamar apartemennya sepelan mungkin.

Seluruh warna nyaris luntur dari wajahnya, hilang di antara langkah kaki yang lunglai. Berkali- kali ia menghela napas pendek, meremas gagang pintunya sembari memejamkan matanya berkali-kali. Laki-laki berusia seperempat abad itu berusaha keras untuk membuka jaket, sepatu, kaus kaki, seragam kerja, dan jam tangan dengan sabar, menahan getaran gerah dari dalam tubuh dan dinginnya udara yang mencabik-cabik kulit.

Lintang berusaha menyapu seluruh sudut kamar dengan pandangan sayunya dan teringat sesuatu yang berusaha ia lupakan.

Seharian penuh, ia duduk dalam sebuah cubicle sempit bersama para pekerja yang ia pun tidak tahu nama panjangnya. Hanya ada monitor, keyboard, telepon, cermin, dan air minum di depan meja. Selama shift-nya belum selesai, ia harus bersiap memasang senyum terbaiknya dan mendengarkan orang-orang asing berbicara. Semuanya harus ia dengarkan satu per satu.

Jari-jemarinya hampir mati rasa. Sepuluh jari rasanya tak cukup untuk meladeni para konsumen yang selalu menanyakan keberadaan manajer, detail produk baru, telepon iseng, dan ucapan- ucapan pedas yang kadang membuat giginya gemeretak.

Lintang menyalakan gawainya. Masih pukul setengah satu malam.

Laki-laki itu tersenyum kecut, lidahnya menggulung ludah ke dalam kerongkongan. Aroma dan manisnya anggur masih ia rasakan, bersembunyi di sela-sela gusi. Kepala pria itu sudah mulai berkunang-kunang.

Tapi, rencana Lintang malam ini tidak akan berubah.

Lintang merebahkan diri menuju pangkuan bantal dan kasurnya. Jari jempolnya mengusap layar gawai, kemudian menekan aplikasi kontak. Mata coklatnya mulai menggulir daftar nama- nama orang yang tersimpan dalam ponselnya. Akhirnya, setelah berpikir agak lama, ia dengan mantap menekan satu nama di layar.

Laki-laki berambut hitam itu menghela napas sedalam-dalamnya, sepanjang-panjangnya.

Baru saja saat ia menekan tombol loud speaker, seseorang di seberang sana sudah mengumandangkan suaranya.

Halo, Lin? Kamu sudah pulang?” ujar seorang perempuan bersuara anggun.

Lintang memejamkan mata, berusaha membelai rambut perempuan itu dalam khayalan. “Iya, sudah, Kamu gimana?”

Perempuan itu menahan suaranya beberapa detik sebelum berkata, “Sudah mau tidur. Kenapa? Kamu mau keluyuran, lagi, ya?”

Lintang refleks membuang mukanya dari gawai.

Berhenti dulu, ya. Kali ini, aja. Besok kamu masih kerja. Jangan macem-macem,” sambung perempuan di balik layar.

Laki-laki itu bergumam tak jelas, mendengungkan sesuatu. Pandangan matanya kini bermain- main dengan dinding kamar yang kusam. Pita suaranya enggan berkumandang. Tubuh Lintang semakin gerah dan panas dalam kamar yang tertutup.

Maaf ya, tadi aku belum sempat menghubungi lagi. Masih ada asistensi,” kata sang wanita, suaranya terbenam dan rebah di dekat bantal.

“Iya, gapapa. Bukan salahmu,” jawab Lintang singkat.

Lelaki itu bersumpah bisa mendengar sang perempuan mengambil napas sesaat sebelum berkicau kembali. “Kamu mau cerita apa, sih? Tumben kamu telepon abis tengah malem. Ada apa?” tanya perempuan itu lagi.

Kerongkongan Lintang terasa pahit. Seperti ada laba-laba yang tengah membangun jaring di dalamnya. “Nggak apa-apa. Cuma ingin mengucapkan saja.”

Perempuan itu mendecakkan lidahnya. “Oh, ucapan seperti biasanya?” “Ya, seperti biasa,” ucap lelaki itu pelan.

Oke, selamat malam, kalau begitu, mimpi indah,” katanya sambil memoncongkan dan mempertemukan dua bibir di kejauhan.

“Ya. Selamat malam,” tutup Lintang sembari berbicara kepada angin.

Lintang tersenyum lega. Setidaknya ia tidak perlu bermimpi indah untuk malam ini. Hutangnya telah lunas satu.

Laki-laki jangkung itu memiringkan kepalanya untuk melihat jam yang terpaku ke dinding kamar. Pukul satu kurang lima belas menit. Ia berusaha bangun dari kasur, memaksakan otot- ototnya yang kaku setelah hampir seharian duduk di depan layar. Tangan kanannya merogoh sebungkus rokok dari kantung celana. Tinggal dua yang tersisa.

Dibukanya kenop pintu perlahan sembari melangkah ke balkon apartemen di lantai tiga puluh. Matanya menoleh pada salah satu pintu kamar yang berseberangan dengan kamarnya. Nomor tujuh puluh dua, gorden tertutup, lampu mati, dan tak ada sandal.

Kali ini, Lintang menggulir layar ponselnya lebih cepat. Pikiran laki-laki itu tertuju pada satu nama.

Ia menekan nama tersebut dan menunggu selama beberapa saat. Beberapa detik kemudian, layar gawai berganti tampilan.

Bro! Lo di mana sekarang? Ikutan party nggak?” Lintang kenal suara bariton khas itu. Lintang refleks menyeringai, tetapi kemudian air mukanya berubah.

Nggak dulu. Gue baru pulang. Ini cuma ucapan selamat malam,” balas Lintang sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Pria di ujung telepon tersebut terdiam, lalu mendengus sesaat. “Masih aja rupanya. Lo kenapa sih, tiap malem ngucapin kayak gini segala? Kayak anak kecil aja, lo.

Senyum Lintang melebar. “Tenang aja, gue bakal berhenti, kok.” “Kapan?”

“Selamat malam, bro,” ucap Lintang, memutus sambungan sepihak. Lelaki itu mengembuskan napas lega.

Tinggal beberapa menit lagi.

Ia menatap layar gawainya, kemudian kembali menggulir nama-nama orang di dalam catatan kontaknya. Mata laki-laki berambut hitam itu terfokus pada salah satu kontak.

Telunjuknya menekan nama kontak tersebut, membuka ruang percakapan antara mereka berdua. Lintang mulai mengetik.

Ayah, mau telepon kapan lagi?

Beberapa saat kemudian, suara notifikasi keluar dari pelantang suara.

Ini Ayah ada kerjaan, besok pagi ya.

Lintang tersenyum kecut. Ia mengetik dengan cepat.

Oke, Yah.

Laki-laki berusaha menahan napas selama beberapa detik, kemudian mengembuskannya dengan perlahan. Setidaknya sekarang tinggal satu hutangnya.

Ia menutup aplikasi telepon tersebut dan keluar ke layar utama sembari bergerak ke pinggir balkon. Sudah jam satu lebih lima menit. Jari-jemarinya mengusap-usap lembut layar tersebut. Ada foto keluarga di sana. Lintang, Ayah, dan mendiang ibunya.

Telinganya bisa menangkap sayup-sayup suara adzan dari kejauhan. Lelaki itu membanting pandangannya ke arah trotoar, jauh di bawah sana. Suara hatinya turut berkumandang. Kakinya menyapa angkasa.

Selamat malam, Tuhan.

*Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 21 FIB Univ Jember

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Login